ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIARE

Selasa, 12 Januari 2010

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN DIARE


A. PENGERTIAN.
Menurut Haroen N, S. Suraatmaja dan P.O Asdil (1998), diare adalah defekasi encer lebih dari 3 kali sehari dengan atau tanpa darah atau lendir dalam tinja.
Sedangkan menurut C.L Betz & L.A Sowden (1996) diare merupakan suatu keadaan terjadinya inflamasi mukosa lambung atau usus.
Menurut Suradi & Rita (2001), diare diartikan sebagai suatu keadaan dimana terjadinya kehilangan cairan dan elektrolit secara berlebihan yang terjadi karena frekuensi buang air besar satu kali atau lebih dengan bentuk encer atau cair.
Jadi diare dapat diartikan suatu kondisi, buang air besar yang tidak normal yaitu lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang encer dapat disertai atau tanpa disertai darah atau lendir sebagai akibat dari terjadinya proses inflamasi pada lambung atau usus.

B. PENYEBAB
Menurut Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil (1998), ditinjau dari sudut patofisiologi, penyebab diare akut dapat dibagi dalam dua golongan yaitu:
1. Diare sekresi (secretory diarrhoe), disebabkan oleh:
a) Infeksi virus, kuman-kuman patogen dan apatogen seperti shigella, salmonela, E. Coli, golongan vibrio, B. Cereus, clostridium perfarings, stapylococus aureus, comperastaltik usus halus yang disebabkan bahan-bahan kimia makanan (misalnya keracunan makanan, makanan yang pedas, terlalau asam), gangguan psikis (ketakutan, gugup), gangguan saraf, hawa dingin, alergi dan sebagainya.
b) Defisiensi imum terutama SIGA (secretory imonol bulin A) yang mengakibatkan terjadinya berlipat gandanya bakteri/flata usus dan jamur terutama canalida.

2. Diare osmotik (osmotik diarrhoea) disebabkan oleh:
a) malabsorpsi makanan: karbohidrat, lemak (LCT), protein, vitamin dan mineral.
b) Kurang kalori protein.
c) Bayi berat badan lahir rendah dan bayi baru lahir.
Sedangkan menurut Ngastiyah (1997), penyebab diare dapat dibagi dalam beberapa faktor yaitu:
1. Faktor infeksi
a) Infeksi enteral
Merupakan penyebab utama diare pada anak, yang meliputi: infeksi bakteri, infeksi virus (enteovirus, polimyelitis, virus echo coxsackie). Adeno virus, rota virus, astrovirus, dll) dan infeksi parasit : cacing (ascaris, trichuris, oxyuris, strongxloides) protozoa (entamoeba histolytica, giardia lamblia, trichomonas homunis) jamur (canida albicous).
b) Infeksi parenteral ialah infeksi diluar alat pencernaan makanan seperti otitis media akut (OMA) tonsilitis/tonsilofaringits, bronkopeneumonia, ensefalitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama terdapat pada bayi dan anak berumur dibawah dua (2) tahun.
2. Faktor malaborsi
Malaborsi karbohidrat, lemak dan protein.
3. Faktor makanan
4. Faktor psikologis




C. PATOFISIOLOGI
Mekanisme dasar yang menyebabkan diare ialah yang pertama gangguan osmotik, akibat terdapatnya makanan atau zat yang tidak dapat diserap akan menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga usus meninggi, sehingga terjadi pergeseran air dan elektrolit kedalam rongga usus, isi rongga usus yang berlebihan ini akan merangsang usus untuk mengeluarkannya sehingga timbul diare.
Kedua akibat rangsangan tertentu (misalnya toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan sekali air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat peningkatan isi rongga usus.
Ketiga gangguan motalitas usus, terjadinya hiperperistaltik akan mengakibatkan berkurangnya kesempatan usus untuk menyerap makanan sehingga timbul diare sebaliknya bila peristaltik usus menurun akan mengakibatkan bakteri timbul berlebihan yang selanjutnya dapat menimbulkan diare pula.
Selain itu diare juga dapat terjadi, akibat masuknya mikroorganisme hidup ke dalam usus setelah berhasil melewati rintangan asam lambung, mikroorganisme tersebut berkembang biak, kemudian mengeluarkan toksin dan akibat toksin tersebut terjadi hipersekresi yang selanjutnya akan menimbulkan diare.
Sedangkan akibat dari diare akan terjadi beberapa hal sebagai berikut:
1. Kehilangan air (dehidrasi)
Dehidrasi terjadi karena kehilangan air (output) lebih banyak dari pemasukan (input), merupakan penyebab terjadinya kematian pada diare.
2. Gangguan keseimbangan asam basa (metabik asidosis)
Hal ini terjadi karena kehilangan Na-bicarbonat bersama tinja. Metabolisme lemak tidak sempurna sehingga benda kotor tertimbun dalam tubuh, terjadinya penimbunan asam laktat karena adanya anorexia jaringan. Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria/anuria) dan terjadinya pemindahan ion Na dari cairan ekstraseluler kedalam cairan intraseluler.
3. Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% anak yang menderita diare, lebih sering pada anak yang sebelumnya telah menderita KKP. Hal ini terjadi karena adanya gangguan penyimpanan/penyediaan glikogen dalam hati dan adanya gangguan absorbsi glukosa.Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun hingga 40 mg% pada bayi dan 50% pada anak-anak.
4. Gangguan gizi
Terjadinya penurunan berat badan dalam waktu singkat, hal ini disebabkan oleh:
- Makanan sering dihentikan oleh orang tua karena takut diare atau muntah yang bertambah hebat.
- Walaupun susu diteruskan, sering diberikan dengan pengeluaran dan susu yang encer ini diberikan terlalu lama.
- Makanan yang diberikan sering tidak dapat dicerna dan diabsorbsi dengan baik karena adanya hiperperistaltik.
5. Gangguan sirkulasi
Sebagai akibat diare dapat terjadi renjatan (shock) hipovolemik, akibatnya perfusi jaringan berkurang dan terjadi hipoksia, asidosis bertambah berat, dapat mengakibatkan perdarahan otak, kesadaran menurun dan bila tidak segera diatasi klien akan meninggal.

D. MANIFESTASI KLINIS DIARE
1. Mula-mula anak/bayi cengeng gelisah, suhu tubuh mungkin meningkat, nafsu makan berkurang.
2. Sering buang air besar dengan konsistensi tinja cair atau encer, kadang disertai wial dan wiata.
3. Warna tinja berubah menjadi kehijau-hijauan karena bercampur empedu.
4. Anus dan sekitarnya lecet karena seringnya difekasi dan tinja menjadi lebih asam akibat banyaknya asam laktat.
5. Terdapat tanda dan gejala dehidrasi, turgor kulit jelas (elistitas kulit menurun), ubun-ubun dan mata cekung membran mukosa kering dan disertai penurunan berat badan.
6. Perubahan tanda-tanda vital, nadi dan respirasi cepat tekan darah turun, denyut jantung cepat, pasien sangat lemas, kesadaran menurun (apatis, samnolen, sopora komatus) sebagai akibat hipovokanik.
7. Diuresis berkurang (oliguria sampai anuria).
8. Bila terjadi asidosis metabolik klien akan tampak pucat dan pernafasan cepat dan dalam. (Kusmaul).

D. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Pemeriksaan tinja
a) Makroskopis dan mikroskopis
b) PH dan kadar gula dalam tinja
c) Bila perlu diadakan uji bakteri
2. Pemeriksaan gangguan keseimbangan asam basa dalam darah, dengan menentukan PH dan cadangan alkali dan analisa gas darah.
3. Pemeriksaan kadar ureum dan kreatinin untuk mengetahui faal ginjal.
4. Pemeriksaan elektrolit terutama kadar Na, K, Kalsium dan Posfat.

E. KOMPLIKASI
1. Dehidrasi (ringan, sedang, berat, hipotonik, isotonik atau hipertonik).
2. Renjatan hipovolemik.
3. Hipokalemia (dengan gejala mekorismus, hiptoni otot, lemah, bradikardi, perubahan pada elektro kardiagram).
4. Hipoglikemia.
5. Introleransi laktosa sekunder, sebagai akibat defisiensi enzim laktase karena kerusakan vili mukosa, usus halus.
6. Kejang terutama pada dehidrasi hipertonik.
7. Malnutrisi energi, protein, karena selain diare dan muntah, penderita juga mengalami kelaparan.
F. DERAJAT DEHIDRASI
Menurut banyaknya cairan yang hilang, derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan:
a. Kehilangan berat badan
1) Tidak ada dehidrasi, bila terjadi penurunan berat badan 2,5%.
2) Dehidrasi ringan bila terjadi penurunan berat badan 2,5-5%.
3) Dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan 5-10%
b. Skor Mavrice King
Bagian tubuh
Yang diperiksa Nilai untuk gejala yang ditemukan
0 1 2
Keadaan umum

Kekenyalan kulit
Mata
Ubun-ubun besar
Mulut
Denyut nadi/mata Sehat

Normal
Normal
Normal
Normal
Kuat <120 Gelisah, cengeng
Apatis, ngantuk
Sedikit kurang
Sedikit cekung
Sedikit cekung
Kering
Sedang (120-140) Mengigau, koma, atau syok
Sangat kurang
Sangat cekung
Sangat cekung
Kering & sianosis
Lemas >40

Keterangan
- Jika mendapat nilai 0-2 dehidrasi ringan
- Jika mendapat nilai 3-6 dehidrasi sedang
- Jika mendapat nilai 7-12 dehidrasi berat









c. Gejala klinis
Gejala klinis Gejala klinis
Ringan Sedang Berat
Keadaan umum
Kesadaran
Rasa haus
Sirkulasi
Nadi
Respirasi
Pernapasan
Kulit
Uub
Baik (CM)
+

N (120)

Biasa

Agak cekung
Agak cekung
Biasa
Normal
Normal
Gelisah
++

Cepat

Agak cepat

Cekung
Cekung
Agak kurang
Oliguri
Agak kering
Apatis-koma
+++

Cepat sekali

Kusz maull

Cekung sekali
Cekung sekali
Kurang sekali
Anuri
Kering/asidosis

G. KEBUTUHAN CAIRAN ANAK
Tubuh dalam keadaan normal terdiri dari 60 % air dan 40 % zat padat seperti protein, lemak dan mineral. Pada anak pemasukan dan pengeluaran harus seimbang, bila terganmggu harus dilakukan koreksi mungkin dengan cairan parentral, secara matematis keseimbangan cairan pada anak dapat di gambarkan sebagai berikut :

Umur Berat Badan Total/24 jam Kebutuhan Cairan/Kg BB/24 jam
3 hari
10 hari
3 bulan
6bulan
9 bulan
1 tahun
2 tahun
4 tahun
6 tahun
10 tahun
14 tahun
18 tahun 3.0
3.2
5.4
7.3
8.6
9.5
11.8
16.2
20.0
28.7
45.0
54.0 250-300
400-500
750-850
950-1100
1100-1250
1150-1300
1350-1500
1600-1800
1800-2000
2000-2500
2000-2700
2200-2700 80-100
125-150
140-160
130-155
125-165
120-135
115-125
100-1100
90-100
70-85
50-60
40-50

Whaley and Wong (1997), Haroen N.S, Suraatmaja dan P.O Asnil 1998), Suharyono, Aswitha, Halimun (1998) dan Bagian Ilmu Kesehatan anak FK UI (1988), menyatakan bahwa jumlah cairan yang hilang menurut derajat dehidrasi pada anak di bawah 2 tahun adalah sebagai berikut :
Derajat Dehidrasi PWL NWL CWL Jumlah
Ringan
Sedang
Berat 50
75
125 100
100
100 25
25
25 175
200
250

Keterangan :
PWL : Previous Water loss (ml/kg BB)
NWL : Normal Water losses (ml/kg BB)
CWL : Concomitant Water losses (ml/kg BB)








H. PATHWAYS
Faktor infeksi Faktor malabsorbsi Gangguan peristaltik

Endotoksin Tekanan osmotik ↑ Hiperperistaltik Hipoperistaltik
merusak mukosa
usus Pergeseran cairan Makanan tidak Pertumbuhan bakteri
dan elektrolit ke sempat diserap
lumen usus Endotoksin berlebih

Hipersekresi cairan
dan elektrolit
Isi lumen usus ↑

Rangsangan pengeluaran

Hiperperistaltik

Diare

Gangguan keseimbangan cairan Gangguan keseimbangan elektrolit

Kurang volume cairan (dehidrasi) Hiponatremia
Hipokalemia
Pusing, lemah, letih, sinkope, anoreksia, Penurunan klorida serum
mual, muntah, haus, oliguri, turgor kulit
kurang, mukosa mulut kering, mata dan Hipotensi postural, kulit dingin, ubun-ubun cekung, peningkatan suhu tremor
tubuh, penurunan berat badan kejang, peka rangsang, denyut jantung cepat dan lemah
(Horne & Swearingen, 2001; Smeltzer & Bare, 2002


I. PENTALAKSANAAN
1. Medis
Dasar pengobatan diare adalah:
a. Pemberian cairan, jenis cairan, cara memberikan cairan, jumlah pemberiannya.
1) Cairan per oral
Pada klien dengan dehidrasi ringan dan sedang diberikan peroral berupa cairan yang bersifat NaCl dan NaHCO3 dan glukosa. Untuk diare akut dan kolera pada anak diatas 6 bulan kadar Natrium 90 mEg/l. Pada anak dibawah umur 6 bulan dengan dehidrasi ringan-sedang kadar natrium 50-60 mEg/l. Formula lengkap disebut oralit, sedangkan larutan gula garam dan tajin disebut formula yang tidak lengkap karena banyak mengandung NaCl dan sukrosa.
2) Cairan parentral
Diberikan pada klien yang mengalami dehidrasi berat, dengan rincian sebagai berikut:
- Untuk anak umur 1 bl-2 tahun berat badan 3-10 kg
• 1 jam pertama : 40 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infus set berukuran 1 ml=15 tts atau 13 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
• 7 jam berikutnya : 12 ml/kgBB/menit= 3 tts/kgBB/mnt (infusset berukuran 1 ml=15 tts atau 4 tts/kgBB/menit (set infus 1 ml=20 tetes).
• 16 jam berikutnya : 125 ml/kgBB/ oralit
- Untuk anak lebih dari 2-5 tahun dengan berat badan 10-15 kg
• 1 jam pertama : 30 ml/kgBB/jam atau 8 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 10 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
- Untuk anak lebih dari 5-10 tahun dengan berat badan 15-25 kg
• 1 jam pertama : 20 ml/kgBB/jam atau 5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 7 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
• 7 jam berikut : 10 ml/kgBB/jam atau 2,5 tts/kgBB/mnt (1 ml=15 tts atau 3 tts/kgBB/menit (1 ml=20 tetes).
• 16 jam berikut : 105 ml/kgBB oralit per oral.
- Untuk bayi baru lahir dengan berat badan 2-3 kg
• Kebutuhan cairan: 125 ml + 100 ml + 25 ml = 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 5% + 1 bagian NaHCO3 1½ %.
Kecepatan : 4 jam pertama : 25 ml/kgBB/jam atau 6 tts/kgBB/menit (1 ml = 15 tts) 8 tts/kg/BB/mt (1mt=20 tts).
• Untuk bayi berat badan lahir rendah
Kebutuhan cairan: 250 ml/kg/BB/24 jam, jenis cairan 4:1 (4 bagian glukosa 10% + 1 bagian NaHCO3 1½ %).
b. Pengobatan dietetik
Untuk anak dibawah 1 tahun dan anak diatas 1 tahun dengan berat badan kurang dari 7 kg, jenis makanan:
- Susu (ASI, susu formula yang mengandung laktosa rendah dan lemak tak jenuh
- Makanan setengah padat (bubur atau makanan padat (nasi tim)
- Susu khusus yang disesuaikan dengan kelainan yang ditemukan misalnya susu yang tidak mengandung laktosa dan asam lemak yang berantai sedang atau tak jenuh.
c. Obat-obatan
Prinsip pengobatan menggantikan cairan yang hilang dengan cairan yang mengandung elektrolit dan glukosa atau karbohidrat lain.
2. Keperawatan
Masalah klien diare yang perlu diperhatikan ialah resiko terjadinya gangguan sirkulasi darah, kebutuhan nutrisi, resiko komplikasi, gangguan rasa aman dan nyaman, kurangnya pengetahuan orang tua mengenai proses penyakit.
Mengingat diare sebagian besar menular, maka perlu dilakukan penataan lingkungan sehingga tidak terjadi penularan pada klien lain.
a. Data fokus
1) Hidrasi
- Turgor kulit
- Membran mukosa
- Asupan dan haluaran
2) Abdomen
- Nyeri
- Kekauan
- Bising usus
- Muntah-jumlah, frekuensi dan karakteristik
- Feses-jumlah, frekuensi, dan karakteristik
- Kram
- Tenesmus
b. Diagnosa keperawatan
- Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan ketidakseimbangan antara intake dan out put.
- Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan kontaminasi usus dengan mikroorganisme.
- Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan iritasi yang disebabkan oleh peningkatan frekuensi BAB.
- Cemas berhubungan dengan perpisahan dengan orang tua, tidak mengenal lingkungan, prosedur yang dilaksanakan.
- Kecemasan keluarga berhubungan dengan krisis situasi atau kurangnya pengetahuan.
c. Intervensi
1) Tingkatkan dan pantau keseimbangan cairan dan elektrolit
- Pantau cairan IV
- Kaji asupan dan keluaran
- Kaji status hidrasi
- Pantau berat badan harian
- Pantau kemampuan anak untuk rehidrasi
- Melalui mulut
2) Cegah iritabilitas saluran gastro intestinal lebih lanjut
- Kaji kemampuan anak untuk mengkonsumsi melalui mulut (misalnya: pertama diberi cairan rehidrasi oral, kemudian meningkat ke makanan biasa yang mudah dicerna seperti: pisang, nasi, roti atau asi.
- Hindari memberikan susu produk.
- Konsultasikan dengan ahli gizi tentang pemilihan makanan.
3) Cegah iritasi dan kerusakan kulit
- Ganti popok dengan sering, kaji kondisi kulit setiap saat.
- Basuh perineum dengan sabun ringan dan air dan paparkan terhadap udara.
- Berikan salep pelumas pada rektum dan perineum (feses yang bersifat asam akan mengiritasi kulit).
4) Ikuti tindakan pencegahan umum atau enterik untuk mencegah penularan infeksi (merujuk pada kebijakan dan prosedur institusi).
5) Penuhi kebutuhan perkembangan anak selama hospitalisasi.
- Sediakan mainan sesuai usia.
- Masukan rutinitas di rumah selama hospitalisasi.
- Dorong pengungkapan perasaan dengan cara-cara yang sesuai usia.
6) Berikan dukungan emosional keluarga.
- Dorong untuk mengekspresikan kekhawatirannya.
- Rujuk layanan sosial bila perlu.
- Beri kenyamanan fisik dan psikologis.
7) Rencana pemulangan.
- Ajarkan orang tua dan anak tentang higiene personal dan lingkungan.
- Kuatkan informasi tentang diet.
- Beri informasi tentang tanda-tanda dehidrasi pada orang tua.
- Ajarkan orang tua tentang perjanjian pemeriksaan ulang.
DAFTAR PUSTAKA

1. Betz Cecily L, Sowden Linda A. 2002. Buku Saku Keperawatan
Pediatrik, Jakarta, EGC
2. Sachasin Rosa M. 1996. Prinsip Keperawatan Pediatrik. Alih bahasa :
Manulang R.F. Jakarta, EGC
4. Arjatmo T. 2001. Keadaan Gawat yang mengancam jiwa, Jakarta gaya baru

Read More..

ASUHAN KEPRAWATAN PADA INTOKSIKASI PESTISIDA

ASUHAN KEPRAWATAN PADA INTOKSIKASI PESTISIDA


A. Pengertian
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Istilah peptisida pada umumnya dipakai untuk semua bahan yang dipakai manusia untuk membasmi hama yang merugikan manusia.Termasuk peptisida ini adalah insektisida.

B. Etiologi
Ada 2 macam insektisuda yang paling benyak digunakan dalam pertanian:
1. Insektisida hidrokarbon khorin ( IHK=Chlorinated Hydrocarbon )
2. Isektida fosfat organic ( IFO =Organo Phosphatase insectisida )
Yang paling sering digunakan adalah IFO yang pemakaiannya terus menerus meningkat. Sifat dari IFO adalah insektisida poten yang paling banyak digunakan dalam pertanian dengan toksisitas yang tinggi. Salah satu derivatnya adalah Tabun dan Sarin. Bahan ini dapat menembusi kulit yang normal (intact) juga dapaat diserap diparu dan saluran makanan,namun tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti golongan IHK. Macam-macam IFO adalah malathion ( Tolly ) Paraathion,diazinon,Basudin,Paraoxon dan lain-lain. IFO ada 2 macam adalah IFO Murni dan golongan carbamate.Salah satu contoh gol.carbamate adalah baygon.

C. Patofisiologi
IFO bekerja dengan cara menghabat ( inaktivasi ) enzim asetikolinesterase tubuh (KhE). Dalam keadaan normal enzim KhE bekerja untuk menghidrolisis arakhnoid (AKH) dengan jalan mengikat Akh–KhE yang bersifat inaktif. Bila konsentrasi racun lebih tinggi dengan ikatan IFO- KhE lebih banyak terjadi. Akibatnya akan terjadi penumpukan Akh ditempat-tempat tertentu, sehingga timbul gejala-gejala ransangan Akh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek muscarinik, nikotinik dan SSP ( menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP)
Pada keracunan IFO, ikatan Ikatan IFO – KhE bersifat menetap (ireversibel), sedangkan keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (reversible ).
Secara farmakologis efek akhir dapat dibagi 3 golongan :
1. Muskarini, terutama pada saluran pencernaan, kelenjar ludah dan keringat, pupil, bronkus dan jantung.
2. Nikotinik, terutama pada otot-otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan otot pernafasan.
3. SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang-kejang (Konvulsi) sampai koma.

D. Gambaran klinis
Yang paling menonjol adalah kelainan visus,hiperaktifitas kelenjar ludah, keringat dan ggn saluran pencernaan, serta kesukaran bernafas.
Gejala ringan meliputi : Anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah,rasa takut, tremor pada lidah,kelopak mata,pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah-muntah, kejang atau kram perut, hipersaliva, hiperhidrosis,fasikulasi otot dan bradikardi.
Keracunan berat : diare, pupil pi- poin, reaksi cahaya negatif ,sesak nafas, sianosis, edema paru .inkontenesia urine dan feces, kovulsi,koma, blokade jantung akhirnya meningal.

E. Penatalaksanaan
1. Resusitasi.
Setelah jalan nafas dibebaskan dan dibersihkan, periksa pernafasan dan nadi. Infus dextrose 5 % kec. 15- 20 tts/menit, nafas buatan, oksigen, hisap lendir dalam saluran pernafasan, hindari obat-obatan depresan saluran nafas, kalu perlu respirator pada kegagalan nafas berat. Hindari pernafasan buatan dari mulut kemulut, sebab racun organo fhosfat akan meracuni lewat mlut penolong. Pernafasan buatan hanya dilakukan dengan meniup face mask atau menggunakan alat bag – valve – mask.
2. Eliminasi.
Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar atau dengan pemeberian sirup ipecac 15 – 30 ml. Dapat diulang setelah 20 menit bila tidak berhasil.
Katarsis, (intestinal lavage), dengan pemberian laksan bila diduga racun telah sampai diusus halus dan besar.
Kumbah lambung atau gastric lavage, pada penderita yang kesadarannya menurun,atau pada penderita yang tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila kumbah lambung dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan.
Keramas rambut dan memandikan seluruh tubuh dengan sabun.
Emesis, katarsis dan kumbah lambung sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang dari 4-6 jam. pada koma derajat sedang hingga berat tindakan kumbah lambung sebaiknya dukerjakan dengan bantuan pemasangan pipa endotrakeal berbalon,untuk mencegah aspirasi pnemonia.
3. Anti dotum.
Atropin sulfat ( SA ) bekerja dengan menghambat efek akumulasi Akh pada tempat penumpukan.
a. Mula-mula diberikan bolus IV 1 – 2,5 mg
b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 – 10 – 15 menit samapi timbul gejala-gejala atropinisasi (muka merah, mulut kering, takikardi, midriasis, febris dan psikosis).
c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 – 60 menit selanjutnya setiap 2 – 4 –6 – 8 dan 12 jam.
d. Pemberian SA dihentikan minimal setelaj 2 x 24 jam.
Penghentian yang mendadak dapat menimbulkan rebound effect berupa edema paru dan kegagalan pernafasan akut yang sering fatal.



F. Pemeriksaan penunjang
Pengukuran kadar KhE dengan sel darah merah dan plasma, penting untuk memastikan diagnosis keracunan IFO akut maupun kronik (Menurun sekian % dari harga normal ).
1. Kercunan akut : Ringan : 40 – 70 %
2. Sedang : 20 – 40 %
3. Berat : < 20 %
4. Keracunan kronik bila kadar KhE menurun sampai 25 - 50 % setiap individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus segara disingkirkan dan baru diizinkan bekerja kemballi kadar KhE telah meningkat > 75 % N
5. Patologi Anatomi ( PA ). Pada keracunan acut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas. sering hanya ditemukan edema paru, dilatsi kapiler, hiperemi paru, otak dan organ-oragan lainnya.

G. Patway
IFO


( inaktivasi ) enzim asetikolinesterase tubuh (KhE).


Penumpukan Akh (arakhnoid) ditempat-tempat tertentu,


sehingga timbul gejala-gejala ransangan Akh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek muscarinik, nikotinik dan SSP ( menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP)
Muskarini, terutama pada saluran pencernaan, kelenjar ludah dan keringat, pupil, bronkus dan jantung.
Nikotinik, terutama pada otot-otot skeletal, bola mata, lidah, kelopak mata dan otot pernafasan.
SSP, menimbulkan nyeri kepala, perubahan emosi, kejang-kejang (Konvulsi) sampai koma.











H. Pengkajian
Pengkajian difokusakan padfa masalah yang mendesak seperti jalan nafas dan sirkulasi yang mengancam jiwa,adanya gangguan asam basa,keadaan status jantung,status kesadran.
Riwayat kesadaran : riwayat keracunan, bahan racun yang digunakan, berapa lama diketahui setelah keracunan,ada masalah lain sebagi pencetus keracunan dan sindroma toksis yang ditimbulkan dan kapan terjadinya.

I. Diagnosa keperawatan
Masalah keperawatan. Yang mungkin timbul adalah :
1. Tidak efektifnya pola nafas
2. Resiko tinggi kekurangan cairan tubuh.
3. Gangguan kesadaran
4. Tidak efektifnya koping individu.

J. Daftar pustaka

Emerton, D M ( 1989 ) Principle And Practise Of nursing , University of Quennsland Press, Australia.

Departemen kesehatan RI, ( 2000 ) Resusitasi jantung, paru otak Bantuan hidup lanjut ( Advanced Life Support ) Jakarta.

LabUPF Ilmu Penyakit Dalam RSUD Dr.Soetomo Surabaya,( 1994 ) Pedoman Diagnosis dan Terapi, Surabaya.

Phipps , ect, ( 1999 ) Medikal Surgical Nursing : Consept dan Clinical Pratise, Mosby Year Book, Toronto.

Read More..

ASKEP SYOK

ASKEP SYOK


A. Definisi
Syok adalah suatu sindrom klinis yang terjadi jika sirkulasi darah arteri tidak adekuat untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan. Perfusi jaringan yang adekuat tergantung pada 3 faktor utama yaitu curah jantung, volume darah, dan tonus vasomotor perifer. Jika salah satu dari ketiga faktor penentu ini kacau dan faktor lain tidak dapat melakukan kompensasi, maka akan terjadi syok. Awalnya tekanan darah arteri normal sebagai kompensasi peningkatan isi sekuncup dan curah jantung. Jika syok berlanjut, curah jantung menurun dan vasokonstriksi perifer meningkat. Jika hipotensi menetap dan vasokonstruksi berlanjut, hipoperfusi mengakibatkan asidosis laktat, oliguria, dan ileus. Jika tekanan arteri cukup rendah, terjadi disfungsi otak dan otot jantung (Mansjoer, 1999).
Syok adalah suatu sindrom klinis akibat kegagalan fungsi akut fungsi sirkulasi yang menyebabkan ketidakckupan perfusi jaringan dan oksigenasi jaringan, dengan akibat mekanisme homeostatis. Berdasarkan penelitian Moyer dan Mc Clelland tentang fisiologi keadaan syok dan homeostatis, syok adalah keadaan tidak cukupnya pengiriman oksigen ke jaringan. Syok merupakan keadaan gawat yang membutuhkan terapi yang agresif dan pemantauan yang kontinyu atau terus-menerus di unit terapi intensif (Ashadi, 1999).

B. Etiologi
1. Syok Hipovolemik
• Kehilangan darah/syok hemoragik
 Hemoragik eksternal : trauma, perdarahan gastrointestinal
 Hemoragik internal : hematoma, hematoraks/himoperitoneum
• Kehilangan plasma
 Luka bakar
 Dermatitis eksfoliatif
• Kehilangan cairan dan elektrolit
 Eksternal : muntah, diare, keringat yang berlebihan
 Internal : pankreatitis, asites, obstruksi usus
2. Syok Kardiogenik
• Disritmia
• Kegagalan pompa jantung
• Disfungsi katup akut
• Ruptur septum ventrikel
3. Syok Obstruktif
• Tension pneumothorax
• Penyakit perikardium
• Penyakit pembuluh darah paru
• Tumor jantung (miksoma atrial)
• Trombus mural atrium kiri
• Penyakit katup obstruktif
4. Syok Distributif
• Syok septik
• Syok anafilaktik
• Syok neurogenik
• Obat-obatan vasodilator
• Insufiensi adrenl akut

C. Patofisiologi
Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu (Komite Medik, 2000):
1. Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.
2. Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme terganggu, produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel.
Dinding pembuluh darah menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik (venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular Coagulation).
Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin) yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi bakteri usus ke sirkulasi.
Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak, integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
3. Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki. Kekurangan oksigen mempercepat timbulnya ireversibilitas syok. Gagal sistem kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku, timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea.
D. Pathway
Kehilangan Darah, Kehilangan Plasma, Kehilangan Cairan dan Elektrolit
Disritmia, Kegagalan Pompa Jantung, Disfungsi Katup Akut
Ruptur Septum Ventrikel

Sirkulasi darah arteri tidak adekuat

Mempengaruhi curah jantung, volume darah dan tonus vasomotor perifer

Jika salah satu dari curah jantung, volume darah dan tonus otot tidak dapat melakukan kompensasi



- Syok Hipovolemik
- Syok Kardiogenik
- Syok Neurogenik
- Syok Septik
- Syok Anafilaksis

Kegagalan akut fungsi sirkulasi

Gangguan mekanisme homeostadisi


E. Manifestasi Klinis (Mansjoer, 1999)
1. Tekanan darah sistemik dan takikardi; puncak tekanan darah sistolik <100mmHg atau lebih dari 10% di bawah tekanan darah yang telah diketahui.
2. Hipoperfusi perifer, vasokonstriksi; kulit dingin, lembab, dan sianosis.
3. Status mental terganggu; kebingungan, agitasi, koma.
4. Oliguria atau anuria; <0,5 ml/kgBB/jam.
5. Asidosis metabolik.
Pemantauan hemodinamik :
1. Tekanan darah arteri
2. Tekanan vena sentral
3. Tekanan arteri pulmonal, dimonitor dengan kateter Swan-Ganz untuk pengukuran Pulmonary Catheter Wedge Presure (PCWP).
4. Pengukuran tambahan. Pemantauan sensorium, jumlah urine, dan suhu kulit.

F. Penatalaksanaan (Mansjoer, 1999)
Pasien diletakkan dalam posisi Trendelenburg atau telentang dengan kaki ditinggikan.
Untuk syok yang tidak terdiagnosis :
1. Bebaskan jalan napas dan yakinkan ventilasi yang adekuat
2. Pasang akses ke intravena
3. Mengembalikan cairan
4. Pertahankan produksi urine >0,5 ml/kgBB/jam

G. Derajat syok
1. Syok Ringan
Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot rangka, dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan.

2. Syok Sedang
Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-organ ini tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan tetapi kesadaran relatif masih baik.
3. Syok Berat
Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun)

H. Pemeriksaan
1. Anamnesis
Pada anamnesis, pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga riwayat sakit mungkin hanya didapatkan dari keluarga, teman dekat atau orang yang mengetahui kejadiannya, cari :
• Riwayat trauma (banyak perdarahan atau perdarahan dalam perut)
• Riwayat penyakit jantung (sesak nafas)
• Riwayat infeksi (suhu tinggi)
• Riwayat pemakaian obat ( kesadaran menurun setelah memakan obat)
2. Pemeriksaan fisik
• Kulit
 suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena begitu syok berlanjut terjadi hipovolemia)
 Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada syok kardiogenik dan syok hemoragi terminal)
 Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
• Tekanan darah
 Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita yang sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septik)

• Status jantung
 Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba
• Status respirasi
 Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi lambat (pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi menjelek)
• Status Mental
 Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi menurun, sopor sampai koma.
• Fungsi Ginjal
 Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam, kritis)
• Fungsi Metabolik
 Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat takipnea
• Sirkulasi
 Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik, meninggi pada syok kardiogenik
• Keseimbangan Asam Basa
 Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea, penurunan pO2 karena adanya aliran pintas di paru)
3. Pemeriksaan Penunjang
• Darah (Hb, Hmt, leukosit, golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah.
• Analisa gas darah
• EKG

I. Komplikasi
1. Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia jaringan yang berkepanjangan.
2. Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler karena hipoksia.
3. DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan yang luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi.
Berikut ini akan dibahas mengenai beberapa macam syok.
A. Syok Kardiogenik
1. Definisi
Kardiogenik syok adalah ketidakmampuan jantung mengalirkan cukup darah ke jaringan untuk memenuhi kebutuhan metabolisme basal akibat gangguan fungsi pompa jantung. Definisi klinis di sini mencakup curah jantung yang buruk dan bukti adanya hipoksia dengan adanya volume darah intravaskular yang cukup. Syok terjadi jik kerusakan otot jantung lebih dari 40% dan angka kematiannya lebih dari 80% (Mansjoer, 1999).

2. Etiologi (Anonim, 2007)
a. Gangguan fungsi miokard :
Infark miokard akut yang cukup jelas (>40%), infark ventrikel kanan. Penyakit jantung arteriosklerotik. Miokardiopati : Kardiomiopati restriktif kongestif atau kardiomiopati hipertropik.
b. Mekanis :
Regurgitasi mitral/aorta
Ruptur septum interventrikel
Aneurisma ventrikel masif
Obstruksi :
Pada aliran keluar (outflow) : stenosis atrium
Pada aliran masuk (inflow) : stenosis mitral, miksoma atrium kiri/thrombus, perikarditis/efusi perikardium.
c. Aritmia : Bradiaritmia/takiaritmia

3. Patofisiologi (Anonim, 2007)
Respon neurohormonal dan reflek adanya hipoksia akan menaikkan denyut nadi, tekanan darah, serta kontraktilitas miokard. Dengan meningkatnya denyut jantung, tekanan darah, dan kontraktilitas miokard, akan meningkatkan kebutuhan oksigen miokard, yang pada kondisi kardiogenik syok perfusi miokard telah menurun, hal ini akan memperburuk keadaan. Akibatnya, fungsi penurunan curah jantung, tekanan darah menurun, dan apabila "Cardiac Index" kurang dari 1,8 ltr/menit/m2, maka keadaan kardiogenik syok semakin nyata. Hipoperfusi miokard, diperburuk oleh keadaan dekompensasi, akan menyebabkan semakin memperjelek keadaan, kerusakan miokard ditandai dengan kenaikan ensim kardial, serta peningkatan asam laktat.
Kondisi ini akan menyebabkan; konsumsi oksigen (O2) tergantung pada transport oksigen (Supply dependent), hutang oksigen semakin besar (oxygen debt), asidosis jaringan. Melihat kondisi tersebut, obyektif resusitasi bertujuan menghilangan VO2 yang "supplay-dependent", "oxygen debt" dan asidosis. Di sisi lain dengan kegagalan fungsi ventrikel, akan meningkatkan tekanan kapiler pulmoral, selanjutnya diikuti dengan meningkatnya tekanan hidrostatis untuk tercetusnya edema paru, disertai dengan kenaikan "Pulmonary capilary wedge pressure" (PCWP), serta penurunan isi sekuncup yang akan menyebabkan hipotensi. Respon terhadap hipotensi adalah vasokontriksi sistimik yang akan meninggikan SVR ("Sistimik Vaskuler Resistan") dan meninggikan "After load". Gambar akhir hemodinamik, penurunan isi sekuncup, peninggian SVR, LVEDP dan LVEDV.

4. Gambaran Klinik
Gambaran syok pada umumnya, seperti takikardi, oligouri, vasokontriksi perifer, asidosis metabolik merupakan gambaran klinik pada kardiogenik syok. Arythmia akan muncul dalam bentuk yang bervariasi yang merupakan perubahan ekstrem dari kenaikan denyut jantung, ataupun kerusakan miokard. Dengan adanya kerusakan miokard, enzim-enzim kardiak pada pemeriksaan laboratorium akan meningkat.

Sebagian besar penderita kardiogenik syok dengan edema paru disertai naiknya PCWP, LVEDP (Left Ventrikel Diastolic Pressure). Edema paru akan mencetuskan dyspnoe yang berat ditunjukkan dengan meningkatnya kerja nafas, sianosis, serta krepitasi. Sedang kardiogenik syok yang tidak tertangani akan diikuti gagal multi organ, metabolik asidosis, kesadaran yang menurun sampai koma, yang semakin mempersulit penanganannya.

5. Diagnosis
Tanda karakteristik syok kardiogenik adalah penurunan curah jantung dengan kenaikan tekanan vena sentral yang nyata dan takikardia. Tahanan vascular sistemik umumnya juga meningkat. Bila perangsangan vagus meningkat misalnya pada IM inferior, dapat terjadi bradikardia, Diagnosis dapat juga ditegakkan sebagai berikut:
a. Tensi turun : sistolis < 90 mmHg atau menurun lebih dari 30-60 mmHg dari semula, sedangkan tekanan nadi < 30 mmHg.
b. Curah jantung, indeks jantung < 2,1 liter/menit/m2.
c. Tekanan diatrium kanan (tekanan vena sentral) biasanya tidak turun, normal redah sampai meninggi.
d. Tekanan diatrium kiri (tekanan kapiler baji paru) rendah sampai meninggi.
e. Resistensi sistemis.
f. Asidosis

6. Penanganan
Penanganan hemodinamik kardiogenik syok meliputi mengkoreksi patofisiologi abnormal, tanpa menyebabkan peninggian kebutuhan oksigen miokard. Oleh karena jantung yang gagal, sangat sensitif terhadap peningkatan after load, tahanan vaskuler sistimik harus dipertahankan pada nilai normal rendah. Hal yang sama penting adalah mempertahankan pre load optimal. Penanganan meliputi suportip umum, stabilisasi hemodinamik, optimalisasi O2 "miokard supplay", ratio demand supplay, serta pengobatan spesifik.
a. Suportip Umum
Penanggulangan nyeri, koreksi status asam basa, gangguan elektrolit, serta pengobatan terhadap arrythia. Pemberian O2 untuk mengoreksi hipoksemia, bila hipoksemia menetap atau potensial untuk timbulnya syok berulang, lakukan intubasi dan mekanikal ventilasi dengan PEEP. (Positive end expiratory pressure), dengan penggunaan PEEP serta sedasi dalam mekanikal ventilasi harus waspada timbulnya hipotensi yang berat.
b. Monitoring
1) Pengukuran tekanan arteri
• Pengukuran tekanan vena dengan CVP
• Penilaian terhadap curah jantung, perfusi kulit, produksi urin/jam, serta status mental penderita sebagai petunjuk perfusi jaringan.
2) Penilaian lain :
• EKG dan ensim kardial
• AGD (analisa gas darah) dan laktat plasma
Hb, elektrolit, ureum, creatinin.
c. Penanganan terhadap gangguan hemodinamik
1) Pada PCWP kurang dari 18 mmHg.
Tindakan awal, dilakukan dengan ekspansi volume plasma, untuk menentukan status volume plasma.
2) Pada PCWP dengan nilai lebih dari 18 mmHg.
Sebagian besar penderita dengan gambaran ini, sehingga pengobatan bertujuan untuk menurunkan, serta tetap normotensip setelah loading cairan. Untuk memperbaiki fungsi hemodinamik dapat dipergunakan obat dan "mechanical circulatory assistance".

d. Perawatan
Pada dekompensasi jantung kiri tidak dengan bantal, tetapi tidak terlalu tinggi, supaya tidak memberatkan anoksia serebral. Bebaskan jalan napas dan berikan O2, kalau perlu dengan pipa endotrakea dan bantuan pernapasan. Sesuaikan dengan hasil analisis gas darah. Pasang alat pantau jantung dan tensi serta masukkan jalur arteri (arterial line) dengan pencatatan tekanan (pressure recording) TVS, atau lebih baik memakai kateter Swan – Ganz untuk mengukur tekanan atrium kanan (TAK), tekana arteri pulmonalis (TAP), tekanan kapiler baji paru (TBKP) dan curah jantung. Pantau produksi urin dengan memasang kateter tetap (dauer katheter).

7. Pengobatan
a. Bila karena aritmia. Diberikan pengobatan aritmia yang sesuai. Untuk fibrilasi atrium cepat, takikardia atrium paroksismal, takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, diberikan terapi defibrilasi (DC shock). Pada bradiaritmia diberikan salfas atropin, isopreterenol 1-2 mcg/menit atau dengan pace maker.
b. Gangguan mekanis. Pada efusi perikardial, dilakukan fungsi perikard. Pada ruptur septum interventrikular dan aneurisma, dilakukan operasi.
c. Obstruksi aliran masuk (inflow). Pada stenosis mitral untuk mengontrol takiaritmia, diberikan digitalis, isoptin dan kalau perlu dioperasi. Sedangkan pada trombus atau miksoma, dicarikan posisi yang terbaik untuk curah jantungnya. Dengan mengubah posisi dapat mengurangi obstruksi aliran masuk oleh miksoma atau trombus, yang masih mobil di atrium kiri. Kalau perlu dilakukan operasi
d. Obstruksi aliran ke luar dan kardiomiopati restriktif atau kardiomiopati hipertrofik. Memerlukan vasodilator (arterio-venul, seperti nitroprusside, capoten dan lain-lain). Pada stenosis atrium dapat juga dipertimbangkan untuk melakukan operasi.
e. Gangguan kontraktilitas.
1) Penambahan volume (cairan).
Tanpa pemantauan, lakukan tes dengan memberikan cairan (misalnya dekstrose 5%) dalam waktu cepat 100 cc/5-10 menit, lalu tekanan darah diukur. Bila tekanan darah meninggi, berarti memang perlu penambahan volume, maka pemberian cairan lebih perlahan-lahan, sambil memantau tekanan darah. Perhatikan juga apakah pasien tambah sesak dan ronki basah di paru bertambah, yang berarti pemberian cairan harus dihentikan. Dengan pemantauan TVS, bila TVS < 15 cm H2O, maka dapat dilakukan tes dengan memberikan cairan lebih cepat yaitu 100 cc/5-10 menit, sampai TVS naik 2-3 cm H2O, dan ukur tekanan darah. Bila tekanan darah meninggi, berarti cairan perlu ditambah. Bila tekanan darah tidak naik, dan pasien tambah sesak serta ronki juga bertambah, maka cairan dihentikan (Raharjo, S., (1997). Dengan pemantauan memakai kateter Swan-Ganz, perhatikan tekanan atrium kanan (TAK), tekanan vena sentral (TVS) dan tekanan kapiler baji paru (TKBP).
Bila TAK 5-12 cm H2O, boleh ditambah s/d 18 cm H2O dan bila TKBP 5-12 mmHg, boleh ditambah s/d 18 mmHg. Bila TAK <12 cm H2O dan TKBP <15 mmHg maka cairan diberikan dengan cepat, sedangkan bila TAK 12-15 cm H2O dan TKBP 15-18 mmHg, cairan diberikan lebih perlahan. Pemberian cairan harus meninggikan tekanan darh dan menambah curah jantung serta indeks jantung.
2) Obat-obatan
• Vasopresor
Diberikan sesudah koreksi cairan dan ventilasi.
Bila ada bradikardi, terutama diberikan isoproterenol untuk meninggikan O2 miokard, sehingga tidak dapat memperluas infark jantung. Noradrenalin 16 mg atau 10 mg pentolamin dalam 500 cc dekstrose 5% atau Metaraminol. Pemberian Dopamin atau Dobutamin drip intravena paling dianjurkan, karena aliran darah ginjal dapat bertambah.
• Vasodilator
Nitroglycerine mengurangi prabeban (preload) sebagai vasodilator koroner. Na Nitroprusside mengurangi prabeban dan pasca beban (pre & afterload). Dosis Na Nitropruside 0,5-3 mcg/kg/menit. Captopril juga mengurangi prabeban dan pasca beban.
• Inotropik
Digitalis dipakai pada takikardia, dengan tujuan menaikkan konsumsi oksigen. Glukogen tidak nyata manfaatnya pada takikardia.
• Diuretik. Dengan memberikan diuretik, berarti mengurangi prabeban.
• Kortikosteroid
Efek pemberian kortikosteroir banyak. Selalu bermanfaat, untuk mencegah kerusakan-kerusakan yang disebabkan oleh anoksia. Karena itu bila mungkin dan tidak ada kontraindikasi, selalu harus diberikan.
f. Pemilihan obat-obat.
Sesudah dilakukan evaluasi dan koreksi volume darah. Bila ekstremitas tidak dingin, diberikan vasopressor, yaitu noradrenalin atau metaraminol. Tekanan darah sistolik tidak usah lebih dari 90-100 mmHg. Bila mungkin diperiksa asam laktat. Kalau kemudian meninggi, maka harus diganti dengan obat vasodilator. Bila ekstremitas agak dingin, sebagai vasopresor dipakai Dopamin. Bila ekstremitas dingin sekali, kulit lembab dan pucat, (asam laktat pasti meninggi), maka diberikan obat vasodilator. Bila dengan cara ini tekanan darah turun maka volum ditambah selama pasien tidak bertambah sesak dan ronki basah tidak bertambah. Setelah itu dapat diberikan Dopamin
g. Obat
Pada kardiogenik syok setelah tercapai pre load yang optimal sering dibutuhkan inotropik untuk memperbaiki kontraktilitas dan obat lain untuk menurunkan after load.
1) Katekolamin
Termasuk dalam kelompok ini, adrenalin, noradrenalin, isoproterenol, dopamin dan dobutamin, secara umum akan menaikkan tekanan arteri, perfusi koroner, kontraktilitas dan kenaikan denyut jantung, serta vasokontriksi perifer. Kenaikan tekanan arteri akan meningkatkan konsumsi oksigen, serta kerja yang tidak diinginkan potensial menimbulkan arrythmia.
2) Adrenalin, noradrenalin dan isoproterenol
Mempunyai aktivitas stimulasi alfa kuat. Aktivitas kronotropik dipunyai ke 3 obat tersebut. Stimulai alfa kuat menyebabkan vaskontriksi kuat, sehingga meningkatkan tension dinding miokard yang dapat mengganggu aktivitas inotropik. Isoproterenol merupakan vasodilator kuat dan cenderung menurunkan aliran darah dan tekanan perfusi koroner. Disamping itu isoproterenol akan sangat meningkatkan kontraktilitas miokard dan laju jantung, sebagai akibatnya terjadi peningkatan konsumsi oksigen miokard yang sangat berbahaya pada kardiogenik syok.
3) Dopamin
Merupakan prekusor endogen noradrenalin, menstimuli reseptor beta, alfa dan dopaminergik. Dopamin juga mempunyai efek "tyramine like" yang akan menyebabkan pelepasan noradrenalin endogen. Pengaruh dopamin terhadap jantung adalah stimulasi reseptor beta 1, pada dosis 5-10 mg/kgBB/ menit, sedang pada dosis melebihi 10 mcg/kgBB/menit, dopamin mulai mestimulasi reseptor alfa 1 yang menyebabkan peningkatan tekanan arteri sistimik dan tekanan venosa, oleh karena meningkatkan tahanan vaskuler sistimik dapat memperburuk fungsi miokard.
Dopamin meningkatkan aliran darah kortek ginjal melalui stimulasi reseptor dopaminergik, pada dosis 0,5 – 2 mcg/kgBB/menit. Takikardi berlebihan, yang akan menurunkan waktu untuk pengisian ventrikel dan peningkatan konsumsi oksigen miokard merupakan efek-efek yang tidak diingkan pada dopamin.
Diantara katekolamin di atas, dobutamin merupakan inotropik standard yang digunakan sebagai pembanding. Dobutamin mempunyai efek terbatas pada tekanan darah serta meningkatkan curah jantung tanpa pengaruh bermakna pada tekanan darah, sebagai akibatnya tahanan vaskuler sistimik, tekanan vena, denyut jantung menurun. Pada penggunaan dobutamin, bila terjadi penurunan rekanan darah umumnya menandakan terdapat hipovolemia. Dobutamin terutama bekerja pada reseptor beta, dengan rentan dosis 2–40 mcg/kgBB/menit. Pada dosis tersebut akan menaikkan kontraktilitas dengan sedikit efek chronotropik tanpa vasokonstriksi.
4) Digoxin
Digunakan untuk memperbaiki kontraksi miokard, namun mempunyai mula kerja, ekskresi yang lama, serta rasio terapi yang rendah, sehingga kurang effektif pada penggunaan sebagai inotropik pada kardiogenik syok.
5) Vasodilator
Kerja yang bermakna pada penggunaan vasodilator untuk mengurangi kerja miokard dan kebutuhan oksigen miokard. Shoemaker, 1989, penggunaan vasodilator kurang efektif pada kardiogenik syok, dibanding penggunaan pada gagal ventrikel kiri akut/kronik, bila kerusakan miokard dan kolaps kardiovaskuler begitu berat. Sodium nitropruside, akan menaikan curah jantung pada penderita gagal ventrikel kiri dan syok setelah infark miokard. Dosis awal 10 mcg/kgBB/menit, maksimal dosis 500 mcg/kgBB/menit.
Nitrogliserine, berfungsi sebagai venodilator pada penggunaan intravena, dengan mula kerja yang cepat, dosis 10-40 mcg/kgBB/menit. Salbutamol; beta 2 agonis, berfungsi sebagai arteriol dilator. Pada beberapa keadaan kombinasi katekolamin dan vasodilator sering dipergunakan untuk mendapatkan status hemodinamika yang baik.
h. Mechanical Circulatory Assitance
Dipergunakan pada penderita yang tidak responsif dengan pengobatan diatas.
1) IABP (Intra Aortic Ballon Pump)
Dimasukkan lewat arteri besar dengan bantuan floroscop, disinkronasi dengan EKG pada aorta. Balon dikembangkan saat diastolik, dengan harapan akan meningkatkan tekanan diastolik, sehingga memperkuat aliran koroner, perfusi koroner menjadi baik. Dikempiskan saat sebelum sistolik ventrikel yang akan menurunkan tekanan aorta dan ventrikel "after load". Hasil akhir akan menaikkan perfusi koroner, menurunkan kerja miokard dan kebutuhan oksigen miokard.
2) VAD (Ventrikuler Assist Devices)
Digunakan pada kardiogenik syok yang dengan IASP, obat tidak menunjukkan manfaat. Apabila PCWP, curah jantung, tahanan vaskuler sistimik dan tekanan darah dapat diukur, algoritme tersebut dapat dipergunakan pada kardiogenik syok.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2006, Syok Anafilaksis, Online (terdapat pada) : http://puskesmaspalaran.wordpress.com/2006/11/05/syok-anafilaksis/
Anonim, 2007, Syok Kardiogenik, Online (terdapat pada):http://medlinux.blogspot.com/2007/09/syok-kardiogenik.html
Ashadi, T., 2001, Terapi Cairan Intravena (Kristaloid) Pada Syok Hipovolemik, Online (terdapat pada) : http://www.tempo.co.id/medika/arsip/012001/sek-1.htm
Corwin, EJ., 2000., Buku Saku Patofi siologis., EGC., Jakarta.
Gleadle, J., Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik, Erlangga, Jakarta
Jong, W. D., 2004, Buku Ajar Ilmu Bedah, EGC, Jakarta
Komite Medik RSUP Dr. Sardjito., 2000., Standar Pelayanan Medis., Ed Ketiga., Medika., Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada., Yogyakarta
Mansjoer, 1999, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi Ke-3 Jilid 1, Media Aesculapius, Jakarta
Tambunan, K., 1990., Buku Panduan Penatalaksanaan Gawat Darurat., Fakulatas Kedokteran Universitas Indonesia., Jakarta
Santosa, 2005, Panduan Diagnosa Keperawatan NANDA, Prima Medika, Jakarta
Wilkinson, J. M., 2006, Buku Saku Diagnosis Keperawatan, EGC, Jakarta

Read More..

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA KEPALA

ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN CEDERA KEPALA



A. Pengertian
Trauma kepala adalah suatu trauma yang mengenai daerah kulit kepala, tulang tengkorak atau otak yang terjadi akibat injury baik secara langsung maupun tidak langsung pada kepala. (Suriadi & Rita Yuliani, 2001)
Klasifikasi
Klasifikasi trauma kepala berdasarkan Nilai Skala Glasgow (SKG):
1. Minor
- SKG 13 – 15
- Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit.
- Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
2. Sedang
- SKG 9 – 12
- Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
- Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Berat
- SKG 3 – 8
- Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
- Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.

B. Etiologi
- Kecelakaan, jatuh, kecelakaan kendaraan bermotor atau sepeda, dan mobil.
- Kecelakaan pada saat olah raga, pasien dengan ketergantungan.
- Cedera akibat kekerasan.

C. Patofisiologis
Cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi patofisiologis dari suatu trauma kepala. Cedera percepatan (aselerasi) terjadi jika benda yang sedang bergerak membentur kepala yang diam, seperti trauma akibat pukulan benda tumpul, atau karena kena lemparan benda tumpul. Cedera perlambatan (deselerasi) adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak, seperti badan mobil atau tanah. Kedua kekuatan ini mungkin terjadi secara bersamaan bila terdapat gerakan kepala tiba-tiba tanpa kontak langsung, seperti yang terjadi bila posisi badan diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasi dengan pengubahan posisi rotasi pada kepala, yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substansi alba dan batang otak.
Cedera primer, yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena memar pada permukaan otak, laserasi substansi alba, cedera robekan atau hemoragi. Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral dikurangi atau tak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hiperemi (peningkatan volume darah) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial, dan akhirnya peningkatan tekanan intrakranial (TIK). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi.
Genneralli dan kawan-kawan memperkenalkan cedera kepala “fokal” dan “menyebar” sebagai kategori cedera kepala berat pada upaya untuk menggambarkan hasil yang lebih khusus. Cedera fokal diakibatkan dari kerusakan fokal yang meliputi kontusio serebral dan hematom intraserebral, serta kerusakan otak sekunder yang disebabkan oleh perluasan massa lesi, pergeseran otak atau hernia. Cedera otak menyebar dikaitkan dengan kerusakan yang menyebar secara luas dan terjadi dalam empat bentuk yaitu: cedera akson menyebar, kerusakan otak hipoksia, pembengkakan otak menyebar, hemoragi kecil multipel pada seluruh otak. Jenis cedera ini menyebabkan koma bukan karena kompresi pada batang otak tetapi karena cedera menyebar pada hemisfer serebral, batang otak, atau dua-duanya.

D. Manifestasi Klinis
- Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih
- Kebungungan
- Iritabel
- Pucat
- Mual dan muntah
- Pusing kepala
- Terdapat hematoma
- Kecemasan
- Sukar untuk dibangunkan
- Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.

E. Komplikasi
- Hemorrhagie
- Infeksi
- Edema
- Herniasi

F. Pemeriksaan Penunjang
- Laboratorium: darah lengkap (hemoglobin, leukosit, CT, BT)
- Rotgen Foto
- CT Scan
- MRI

G. Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan therapeutic pasien dengan trauma kepala adalah sebagai berikut:
1. Observasi 24 jam
2. Jika pasien masih muntah sementara dipuasakan terlebih dahulu.
3. Berikan terapi intravena bila ada indikasi.
4. Pasien diistirahatkan atau tirah baring.
5. Profilaksis diberikan bila ada indikasi.
6. Pemberian obat-obat untuk vaskulasisasi.
7. Pemberian obat-obat analgetik.
8. Pembedahan bila ada indikasi.
Rencana Pemulangan
1. Jelaskan tentang kondisi pasien yang memerlukan perawatan dan pengobatan.
2. Ajarkan orang tua untuk mengenal komplikasi, termasuk menurunnya kesadaran, perubahan gaya berjalan, demam, kejang, sering muntah, dan perubahan bicara.
3. Jelaskan tentang maksud dan tujuan pengobatan, efek samping, dan reaksi dari pemberian obat.
4. Ajarkan orang tua untuk menghindari injuri bila kejang: penggunaan sudip lidah, mempertahankan jalan nafas selama kejang.
5. Jelaskan dan ajarkan bagaimana memberikan stimulasi untuk aktivitas sehari-hari di rumah, kebutuhan kebersihan personal, makan-minum. Aktivitas bermain, dan latihan ROM bila pasien mengalami gangguan mobilitas fisik.
6. Ajarkan bagaimana untuk mencegah injuri, seperti gangguan alat pengaman.
7. Tekankan pentingnya kontrol ulang sesuai dengan jadual.
8. Ajarkan pada orang tua bagaimana mengurangi peningkatan tekanan intrakranial.

H. Patwy
TRAUMA

Cidera Stempat Cidera menyeluruh


Benda Tajam Benda tumpul


Kerusakan setempat Kekuatan diserap
jaringan otak


Kerusakan sepanjang
perjalanan kekuatan
pada jaringan otak



TERGANTUNG


Lokasi, impresi fraktur, kekuatan benturan dan efek akselerasi dan deselerasi


Cidera jaringan otak

Perubahan pada cairan intra dan ekstra sel Edema

Peningkatan suplai darah kedaerah trauma Vasodilatsi

Tekanan intrakranial meningkat

Aliran darah ke otak menurun

Iskemia jaringan


Kematian sel-sel otak pCO2 meningkat & pH menurun (otak)

Kerusakan sel-sel otak




Fase emergency (ditandai)
Memar, darah dari telinga,
CSF dari telinga,
Kesadaran menurun,
Kejang, reflek batuk dan
muntah hilang
Cidera ringan/sedang
Disorientasi ringan,
amnesia retrograde, akit kepala, muntah/mual, vertigo dan gangguan pendengaran
Cidera sedang/berat
Tidak sadar > 24 jam, fleksi & ekstensi kstermitas
abnormal, edema otak, hemiparese, kejang



I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Riwayat kesehatan: waktu kejadian, penyebab trauma, posisi saat kejadian, status kesadaran saat kejadian, pertolongan yang diberikan segera setelah kejadian.
a. Pemeriksaan fisik
b. Sistem respirasi : suara nafas, pola nafas (kusmaull, cheyene stokes, biot, hiperventilasi, ataksik)
c. Kardiovaskuler : pengaruh perdarahan organ atau pengaruh PTIK
d. Sistem saraf : Kesadaran à GCS, Fungsi saraf kranial à trauma yang mengenai/meluas ke batang otak akan melibatkan penurunan fungsi saraf kranial., Fungsi sensori-motor à adakah kelumpuhan, rasa baal, nyeri, gangguan diskriminasi suhu, anestesi, hipestesia, hiperalgesia, riwayat kejang.
e. Sistem pencernaan
f. Bagaimana sensori adanya makanan di mulut, refleks menelan, kemampuan mengunyah, adanya refleks batuk, mudah tersedak. Jika pasien sadar à tanyakan pola makan?
g. Waspadai fungsi ADH, aldosteron : retensi natrium dan cairan.
h. Retensi urine, konstipasi, inkontinensia.
i. Kemampuan bergerak : kerusakan area motorik à hemiparesis/plegia, gangguan gerak volunter, ROM, kekuatan otot.
j. Kemampuan komunikasi : kerusakan pada hemisfer dominan à disfagia atau afasia akibat kerusakan saraf hipoglosus dan saraf fasialis.
k. Psikososial à data ini penting untuk mengetahui dukungan yang didapat pasien dari keluarga.

2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mungkin timbul adalah:
1. Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas dan tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan gagal nafas, adanya sekresi, gangguan fungsi pergerakan, dan meningkatnya tekanan intrakranial.
2. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan edema serebral dan peningkatan tekanan intrakranial.
3. Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan tirah baring dan menurunnya kesadaran.
4. Resiko kurangnya volume cairan berhubungan mual dan muntah.
5. Resiko injuri berhubungan dengan menurunnya kesadaran atau meningkatnya tekanan intrakranial.
6. Nyeri berhubungan dengan trauma kepala.
7. Resiko infeksi berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
8. Kecemasan orang tua-pasien berhubungan dengan kondisi penyakit akibat trauma kepala.
9. Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan immobilisasi.


J. DAFTAR PUSTAKA

Suriadi & Rita Yuliani. Asuhan Keperawatan Pada Pasien , Edisi I. Jakarta: CV Sagung Seto; 2001.

Hudak & Gallo. Keperawatan Kritis, Pendekatan Holistik , Volume II. Jakarta: EGC; 1996.
Cecily LB & Linda AS. Buku Saku Keperawatan Pediatrik . Edisi 3. Jakarta: EGC; 2000.
Suzanne CS & Brenda GB. Buku Ajar Medikal Bedah . Edisi 8. Volume 3. Jakarta: EGC; 1999.

Read More..

STROKE

Senin, 11 Januari 2010

ASUHAN KEPERAWATAN PADA STROKE
HEMORAGIK DAN NON HEMORAGICK




A. PENGERTIAN
WHO (1997) stroke adalah adanya tanda-tanda klinik yang berkembang cepat akibat gangguan fungsi otak fokal (atau global) dengan gejala-gejala yang berlangsung selama 24 jam atau lebih yang menyebabkan kematian tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskuler. (Hendro Susilo, 2000)
Stroke adalah suatu gangguan neurologik fokal yang dapat timbul sekunder dari suatu proses patologi pada pembuluh darah serebral, misalnya trombosis, embolus, ruptura dinding pembuluh atau penyakit vascular dasar, misalnya aterosklerosis, arteritis, trauma, aneurisma dan kelainan perkembangan (Sylvia A. Price, 1995).
Stroke adalah awitan defisit neurologis yang berhubungan dengan penurunan aliran darah serebral yang disebabkan oleh oklusi atau stenosis pembuluh darah karena embolisme, trombosis, atau hemoragi, yang mengakibatkan iskemia otak (Susan Martyn Tucker, 1996).
Dari beberapa pendapat tentang stroke diatas, maka dapat diambil Akesimpulan bahwa pengertian stroke adalah gangguan sirkulasi serebral yang disebabkan oleh sumbatan atau penyempitan pembuluh darah oleh karena emboli, trombosis atau perdarahan serebral sehingga aliran darah ke otak menurun yang terjadi secara mendadak.

Stroke dibagi menjadi dua :
1. Stroke Non Haemoragik
Yaitu gangguan peredaran darah otak tanpa terjadi suatu perdarahan yang ditandai dengan kelemahan pada satu atau keempat anggota gerak atau hemiparese, nyeri kepala, mual, muntah, pandangan kabur dan dysfhagia. Stroke non haemoragik dibagi lagi menjadi dua yaitu stroke embolik dan stroke trombotik.

2. Stroke Haemoragik
Yaitu suatu gangguan peredaran darah otak yang ditandai dengan adanya perdarahan intra serebral atau perdarahan subarakhnoid. Tanda yang terjadi adalah penurunan kesadaran, pernapasan cepat, nadi cepat, gejala fokal berupa hemiplegi, pupil mengecil, kaku kuduk.

B. ETIOLOGI
1. Stroke Non Haemoragik
a. Trombosis
Trombosis merupakan penyebab stroke paling sering. Trombosis ditemukan pada 40% dari semua kasus stroke yang telah dibuktikan oleh para ahli patologi. Biasanya ada kaitannya dengan kerusakan lokal dinding pembuluh darah akibat aterosklerosis
b. Embolus
Embolisme serebri termasuk urutan kedua dan merupakan 5-15% dari berbagai penyebab utama stroke. Dari penelitian epidemiologi (community based) didapatkan bahwa sekitar 50% dari semua serangan iskemia otak, apakah yang permanen atau yang transien, diakibatkan oleh komplikasi trombotik atau embolik dari ateroma, yang merupakan kelainan dari arteri ukuran besar atau sedang; dan sekitar 25% disebabkan oleh penyakit pembuluh darah kecil di intra cranial dan 20% oleh emboli dari jantung (Lumbantobing, 2001). Penderita embolisme biasanya lebih muda dibanding dengan penderita trombosis Kebanyakan emboli serebri berasal dari suatu thrombus dalam jantung, sehingga masalah yang dihadapi sesungguhnya merupakan perwujudan penyakit jantung.

2. Stroke Haemoragik
a. Perdarahan serebri
Perdarahan serebri termasuk urutan ketiga dari semua penyebab kasus gangguan pembuluh darah otak dan merupakan persepuluh dari semua kasus penyakit ini. Perdarahan intrakranial biasanya disebabkan oleh ruptura arteria serebri
b. Pecahnya aneurisma
Biasanya perdarahan serebri terjadi akibat aneurisme yang pecah maka penderita biasanya masih muda dan 20% mempunyai lebih dari satu aneurisme. Dan salah satu dari ciri khas aneurisme adalah kecendrungan mengalami perdarahan ulang (Sylvia A. Price, 1995)

c. Penyebab lain (dapat menimbulkan infark atau perdarahan).
- Trombosis sinus dura
- Diseksi arteri karotis atau vertebralis
- Vaskulitis sistem saraf pusat
- Penyakit moya-moya (oklusi arteri besar intrakranial yang progresif)
- Migran
- Kondisi hyperkoagulasi
- Penyalahgunaan obat (kokain dan amfetamin)
- Kelainan hematologis (anemia sel sabit, polisitemia atau leukemia)
- Miksoma atrium.

3. Faktor Resiko :
- Yang tidak dapat diubah : usia, jenis kelamin pria, ras, riwayat keluarga, riwayat TIA atau stroke, penyakit jantung koroner, fibrilasi atrium, dan heterozigot atau homozigot untuk homosistinuria.
- Yang dapat diubah : hypertensi, diabetes mellitus, merokok, penyalahgunaan obat dan alcohol, hematokrit meningkat, bruit karotis asimtomatis, hyperurisemia dan dislidemia.

C. PATOFISIOLOGI
Suatu manifestasi neurologi yang umum dan timbul secara mendadak sebagai akibat adanya gangguan suplai darah ke otak. Definisi lain menyatakan bahwa stroke adalah disfungsi neurologi akut disebabakan oleh gangguan aliran darah yang timbul secara mendadak dengan tanda dan gejala sesuai dengan daerah otak yang terganggu. Sedangkan stroke hemoragik adalah Stroke yang terjadi karena perdarahan subarachnoid, mungkin disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada daerah tertentu. Biasanya terjadi saat pasien melakukan aktifitas atau saat aktif tetapi bisa juga terjadi saat istirahat. Kesadaran pasien umumnya menurun.
Tahapan patofisologi terjadinya stroke adalah kerusakan pembuluh darah otak, pembuluh darah tidak mampu mengalirkan darah atau pembuluh darah pecah dan bagian otak yang memperoleh darah dari pembuluh yang rusak tadi fungsinya menjadi terganggu hingga timbul gejala-gejala stroke.
Tahapan tersebut tidak terjadi dalam waktu singkat.Pada tahap pertama dimana dinding pembuluh darah yang mengalirkan darah ke otak mula-mula terkena berupa aterosklerosis pada pembuluh-pembuluh yang kecil. Penebalan dinding pembuluh darah ini terjadi berangsung-angsur dan diakibatkan oleh hipertensi, DM, peninggian kadar asam urat atau lemak dalam darah, perokok berat dll.
Proses penebalan timbul berangsur-angsur dalam waktu beberapa tahun atau akhirnya suatu saat terjadi sumbatan dimana aliran darah yang terjadi cukup ditolerir oleh otak. Akhirnya karena sempitnya lumen pembuluh darah tersebut tidak cukup lagi memberi darah pada pembuluh darah otak ini menyebabkan kerapuhan dan pembuluh darah menjadi pecah dan timbul perdarahan. Pada saat dimana pembuluh darah tersebut pecah atau tersumbat hingga aliran darah tidak cukup lagi memberi darah lalu timbul gejala-gejala neurologik berupa kelumpuhan, tidak bisa bicara atau pingsan, diplopia secara mendadak.
Sumbatan pembuluh darah otak dapat juga terjadi akibat adanya bekuan-bekuan darah dari luar otak (jantung atau pembuluh besar tubuh) atau dari pembuluh darah leher (karotis) yang terlepas dari dinding pembuluh tersebut dan terbawa ke otak lalu menyumbat. Karena fungsi otak bermacam-macam, maka gejala stroke juga timbul tergantung pada daerah mana otak yang terganggu. Penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah secara mendadak dapat menimbulkan gejala dan tanda-tanda neurologik yang memiliki sifat, mendadak, tidak ada gejala-gejala dini atau gejala peningkatan dan timbulnya iskemi atau kerusakan otak,gejala neurologik yang timbul selalau terjadi pada satu sisi badan, gejala-gejala klinik yang timbul mencapai maksimum beberapa jam setelah serangan. Umumnya kurang dari 24 jam, jadi misalnya pagi hari serangan stroke timbul berupa kelemahan pada badan sebelah kanan kemudian berangsur-angsur menjadi lumpuh sama sekali. Pada malam harinya tidak pernah terjadi kelemahan yang berangsur-angsur menjadi lumpuh maka penyebabnya adalah bukan penyakit primer pada pembuluh darah otak tetapi oleh sebab lain misalnya tumor yang menekan pembuluh darah otak. Keadaan ini disebut “stroke syndrome”.









D. TANDA DAN GEJALA
1 Vertebro basilaris, sirkulasi posterior, manifestasi biasanya bilateral :
- Kelemahan salah satu dari empat anggota gerak tubuh
- Peningkatan refleks tendon
- Ataksia
- Tanda babinski
- Tanda-tanda serebral
- Disfagia
- Disartria
- Sincope, stupor, koma, pusing, gangguan ingatan.
- Gangguan penglihatan (diplopia, nistagmus, ptosis, paralysis satu mata).
- Muka terasa baal.
2 Arteri Karotis Interna
- Kebutaan Monokular disebabkan karena insufisiensi aliran darah arteri ke retina
- Terasa baal pada ekstremitas atas dan juga mungkin menyerang wajah.
3 Arteri Serebri Anterior
- Gejala paling primer adalah kebingungan
- Rasa kontralateral lebih besar pada tungkai
- Lengan bagian proksimal mungkin ikut terserang
- Timbul gerakan volunter pada tungkai terganggu
- Gangguan sensorik kontra lateral
- Dimensi reflek mencengkeram dan refleks patologis
4 Arteri Serebri Posterior
- Koma
- Hemiparesis kontralateral
- Afasia visual atau buta kata (aleksia)
- Kelumpuhan saraf kranial ketiga – hemianopsia, koreo – athetosis
5 Arteri Serebri Media
- Mono paresis atau hemiparesis kontra lateral (biasanya mengenai lengan)
- Kadang-kadang heminopsia kontralateral (kebutaan)
- Afasia global (kalau hemisfer dominan yang terkena)
- Gangguan semua fungsi yang ada hubungannya dengan percakapan dan komunikasi
- Disfagia


E. PENATALAKSANAAN
a. Penatalaksanaan umum 5 B dengan penurunan kesadaran :
1 Breathing (Pernapasan)
- Usahakan jalan napas lancar.
- Lakukan penghisapan lendir jika sesak.
- Posisi kepala harus baik, jangan sampai saluran napas tertekuk.
- Oksigenisasi terutama pada pasien tidak sadar.



2 Blood (Tekanan Darah)
- Usahakan otak mendapat cukup darah.
- Jangan terlalu cepat menurunkan tekanan darah pada masa akut.

3 Brain (fungsi otak)
- Atasi kejang yang timbul.
- Kurangi edema otak dan tekanan intra cranial yang tinggi.

4 Bladder (kandung kemih)
- Pasang katheter bila terjadi retensi urine

5 Bowel (Pencernaan)
- Defekasi supaya lancar.
- Bila tidak bisa makan per-oral pasang NGT/Sonde.

b. Menurunkan kerusakan sistemik.
Dengan infark serebral terdapat kehilangan irreversible inti sentral jaringan otak. Di sekitar zona jaringan yang mati mungkin ada jaringan yang masih harus diselamatkan. Tindakan awal yang harus difokuskan untuk menyelamatkan sebanyak mungkin area iskemik. Tiga unsur yang paling penting untuk area tersebut adalah oksigen, glukosa dan aliran darah yang adekuat. Kadar oksigen dapat dipantau melalui gas-gas arteri dan oksigen dapat diberikan pada pasien jika ada indikasi. Hypoglikemia dapat dievaluasi dengan serangkaian pemeriksaan glukosa darah.

c. Mengendalikan Hypertensi dan Peningkatan Tekanan Intra Kranial
Kontrol hipertensi, TIK dan perfusi serebral dapat membutuhkan upaya dokter maupun perawat. Perawat harus mengkaji masalah-masalah ini, mengenalinya dan memastikan bahwa tindakan medis telah dilakukan. Pasien dengan hypertensi sedang biasanya tidak ditangani secara akut. Jika tekanan darah lebih rendah setelah otak terbiasa dengan hypertensi karena perfusi yang adekuat, maka tekanan perfusi otak akan turun sejalan dengan tekanan darah. Jika tekanan darah diastolic diatas kira-kira 105 mmHg, maka tekanan tersebut harus diturunkan secara bertahap. Tindakan ini harus disesuaikan dengan efektif menggunakan nitropusid.
Jika TIK meningkat pada pasien stroke, maka hal tersebut biasanya terjadi setelah hari pertama. Meskipun ini merupakan respons alamiah otak terhadap beberapa lesi serebrovaskular, namun hal ini merusak otak. Metoda yang lazim dalam mengontrol PTIK mungkin dilakukan seperti hyperventilasi, retensi cairan, meninggikan kepala, menghindari fleksi kepala, dan rotasi kepala yang berlebihan yang dapat membahayakan aliran balik vena ke kepala. Gunakan diuretik osmotik seperti manitol dan mungkin pemberian deksamethasone meskipun penggunaannya masih merupakan kontroversial.



d. Terapi Farmakologi
Antikoagulasi dapat diberikan pada stroke non haemoragik, meskipun heparinisasi pada pasien stroke iskemik akut mempunyai potensi untuk menyebabkan komplikasi haemoragik. Heparinoid dengan berat molekul rendah (HBMR) menawarkan alternatif pada penggunaan heparin dan dapat menurunkan kecendrungan perdarahan pada penggunaannya. Jika pasien tidak mengalami stroke, sebaliknya mengalami TIA, maka dapat diberikan obat anti platelet. Obat-obat untuk mengurangi perlekatan platelet dapat diberikan dengan harapan dapat mencegah peristiwa trombotik atau embolitik di masa mendatang. Obat-obat antiplatelet merupakan kontraindikasi dalam keadaan adanya stroke hemoragi seperti pada halnya heparin.

e. Pembedahan
Beberapa tindakan pembedahan kini dilakukan untuk menangani penderita stroke. Sulit sekali untuk menentukan penderita mana yang menguntungkan untuk dibedah. Tujuan utama pembedahan adalah untuk memperbaiki aliran darah serebral.
Endarterektomi karotis dilakukan untuk memperbaiki peredaran darah otak. Penderita yang menjalani tindakan ini seringkali juga menderita beberapa penyulit seperti hypertensi, diabetes dan penyakit kardiovaskuler yang luas. Tindakan ini dilakukan dengan anestesi umum sehingga saluran pernapasan dan kontrol ventilasi yang baik dapat dipertahankan.

F. KOMPLIKASI
1. TIK meningkat
2. Aspirasi
3. Atelektasis
4. Kontraktur
5. Disritmia jantung
6. Malnutrisi
7. Gagal napas

G. PENCEGAHAN
Beberapa tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah :
1. Pembatasan makan garam; dimulai dari masa muda, membiasakan memakan makanan tanpa garam atau makanan bayi rendah garam.
2. Khususnya pada orang tua, perawatan yang intensif untuk mempertahankan tekanan darah selama tindakan pembedahan. Cegah jangan sampai penderita diberi obat penenang berlebihan dan istirahat ditempat tidur yang terlalu lama.
3. Peningkatan kegiatan fisik; jalan setiap hari sebagai bagian dari program kebugaran.
4. Penurunan berat badan apabila kegemukan
5. Berhenti merokok
6. Penghentian pemakaian kontrasepsi oral pada wanita yang merokok, karena resiko timbulnya serebrovaskular pada wanita yang merokok dan menelan kontrasepsi oral meningkat sampai 16 kali dibandingkan dengan wanita yang tidak merokok dan tidak menelan pil kontrasepsi.
H. Patway
MEKANISME TERJADINYA STROKE

NON HEMORAGIK HEMORAGIK
Fragmen Arterosklerosis Plak, ateromentosa Hipertensi/terjadi
Sinus karotis, perdarahan
Arteri karotis interna
Trombus Aneurisma

Ruptur arteri cerebri

Ekstravasasi darah diotak/
Subarachnoid

Vasospasme arteri

Menyebar ke hemisfer otak & sirkulus Willisi
Emboli

Penurunan perfusi otak


iskemia


Metabolisme laktat Aktifitas elektrolit terhenti

Asidosia metabolik


vasodilatasi PD Pompa Na+, K+ gagal


jaringan malami Edema otak syok
reaksi dan pergeseran
nyeri

Perfusi otak menurun
Nyeri kepala nekrosis jatringan otak

kerusakan sel neuron

Kesadaran menurun

Penurunan fungsi motorik penurunan fungsi sensorik
Fungsi otot sfingter tidak normal

Kelumpuhan


imobilisasi



I. ASUHAN KEPERAWATAN
1. Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan proses keperawatan untuk mengenal masalah klien, agar dapat memberi arah kepada tindakan keperawatan. Tahap pengkajian terdiri dari tiga kegiatan, yaitu pengumpulan data, pengelompokkan data dan perumusan diagnosis keperawatan. (Lismidar, 1990)
a. Pengumpulan data
Pengumpulan data adalah mengumpulkan informasi tentang status kesehatan klien yang menyeluruh mengenai fisik, psikologis, sosial budaya, spiritual, kognitif, tingkat perkembangan, status ekonomi, kemampuan fungsi dan gaya hidup klien. (Marilynn E. Doenges et al, 1998)

1) Identitas klien
Meliputi nama, umur (kebanyakan terjadi pada usia tua), jenis kelamin, pendidikan, alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS, nomor register, diagnose medis.
2) Keluhan utama
Biasanya didapatkan kelemahan anggota gerak sebelah badan, bicara pelo, dan tidak dapat berkomunikasi.
3) Riwayat penyakit sekarang
Serangan stroke hemoragik seringkali berlangsung sangat mendadak, pada saat klien sedang melakukan aktivitas. Biasanya terjadi nyeri kepala, mual, muntah bahkan kejang sampai tidak sadar, disamping gejala kelumpuhan separuh badan atau gangguan fungsi otak yang lain.
4) Riwayat penyakit dahulu
Adanya riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, anemia, riwayat trauma kepala, kontrasepsi oral yang lama, penggunaan obat-obat anti koagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adiktif, kegemukan. (Susan Martin Tucker, 1998)
5) Riwayat penyakit keluarga
Biasanya ada riwayat keluarga yang menderita hipertensi ataupun diabetes militus, gangguan kejang, kelainan neurologis, kanker, stroke, retardasi mental.
6) Riwayat psikososial
Stroke memang suatu penyakit yang sangat mahal. Biaya untuk pemeriksaan, pengobatan dan perawatan dapat mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga.

7) Pola-pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat. Biasanya ada riwayat perokok, penggunaan alkohol, penggunaan obat kontrasepsi oral.
b) Pola nutrisi dan metabolisme. Adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan menurun, mual muntah pada fase akut.
c) Pola eliminasi. Biasanya terjadi inkontinensia urine dan pada pola defekasi biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
d) Pola aktivitas dan latihan. Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau paralise/ hemiplegi, mudah lelah.
e) Pola tidur dan istirahat. Biasanya klien mengalami kesukaran untuk istirahat karena kejang otot/nyeri otot.
f) Pola hubungan dan peran. Adanya perubahan hubungan dan peran karena klien mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat gangguan bicara.
g) Pola persepsi dan konsep diri. Klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah marah, tidak kooperatif.
h) Pola sensori dan kognitif. Pada pola sensori klien mengalami gangguan penglihatan/kekaburan pandangan, perabaan/sentuhan menurun pada muka dan ekstremitas yang sakit. Pada pola kognitif biasanya terjadi penurunan memori dan proses berpikir.
i) Pola reproduksi seksual. Biasanya terjadi penurunan gairah seksual akibat dari beberapa pengobatan stroke, seperti obat anti kejang, anti hipertensi, antagonis histamin.
j) Pola penanggulangan stress. Klien biasanya mengalami kesulitan untuk memecahkan masalah karena gangguan proses berpikir dan kesulitan berkomunikasi.
k) Pola tata nilai dan kepercayaan. Klien biasanya jarang melakukan ibadah karena tingkah laku yang tidak stabil, kelemahan/ kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.

b. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
a) Kesadaran : umumnya mengalami penurunan kesadaran
b) Suara bicara : kadang mengalami gangguan yaitu sukar dimengerti, kadang tidak bisa bicara
c) Tanda-tanda vital : tekanan darah meningkat, denyut nadi bervariasi
2) Pemeriksaan integumen
a) Kulit : jika klien kekurangan O2 kulit akan tampak pucat dan jika kekurangan cairan maka turgor kulit kan jelek. Di samping itu perlu juga dikaji tanda-tanda dekubitus terutama pada daerah yang menonjol karena klien CVA Bleeding harus bed rest 2-3 minggu
b) Kuku : perlu dilihat adanya clubbing finger, cyanosis
c) Rambut : umumnya tidak ada kelainan
3) Pemeriksaan kepala dan leher
a) Kepala : bentuk normocephalik
b) Muka : umumnya tidak simetris yaitu mencong ke salah satu sisi
c) Leher : kaku kuduk jarang terjadi (Satyanegara, 1998)
4) Pemeriksaan dada
Pada pernafasan kadang didapatkan suara nafas terdengar ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan, pernafasan tidak teratur akibat penurunan refleks batuk dan menelan.
5) Pemeriksaan abdomen
Didapatkan penurunan peristaltik usus akibat bed rest yang lama, dan kadang terdapat kembung.
6) Pemeriksaan inguinal, genetalia, anus
Kadang terdapat incontinensia atau retensio urine
7) Pemeriksaan ekstremitas
Sering didapatkan kelumpuhan pada salah satu sisi tubuh.
8) Pemeriksaan neurology
a) Pemeriksaan nervus cranialis : Umumnya terdapat gangguan nervus cranialis VII dan XII central.
b) Pemeriksaan motorik. Hampir selalu terjadi kelumpuhan/kelemahan pada salah satu sisi tubuh.
c) Pemeriksaan sensorik. Dapat terjadi hemiparestesi
d) Pemeriksaan refleks. Pada fase akut reflek fisiologis sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks fisiologis akan muncul kembali didahuli dengan refleks patologis.
c. Pemeriksaan penunjang
1) Pemeriksaan radiology
a) CT scan : didapatkan hiperdens fokal, kadang-kadang masuk ventrikel, atau menyebar ke permukaan otak.
b) MRI : untuk menunjukkan area yang mengalami hemoragik. (Marilynn E. Doenges, 2000)
c) Angiografi serebral : untuk mencari sumber perdarahan seperti aneurisma atau malformasi vaskuler. (Satyanegara, 1998)
d) Pemeriksaan foto thorax : dapat memperlihatkan keadaan jantung, apakah terdapat pembesaran ventrikel kiri yang merupakan salah satu tanda hipertensi kronis pada penderita stroke.
2) Pemeriksaan laboratorium
a) Pungsi lumbal : pemeriksaan likuor yang merah biasanya dijumpai pada perdarahan yang masif, sedangkan perdarahan yang kecil biasanya warna likuor masih normal (xantokhrom) sewaktu hari-hari pertama. (Satyanegara, 1998)
b) Pemeriksaan darah rutin
c) Pemeriksaan kimia darah : pada stroke akut dapat terjadi hiperglikemia. Gula darah dapat mencapai 250 mg dalam serum dan kemudian berangsur-angsur turun kembali.
d) Pemeriksaan darah lengkap : unutk mencari kelainan pada darah itu sendiri.





2. Diagnosa Keperawatan
DIAGNOSA TUJUAN INTERVENSI
Gangguan perfusi jaringan Cerebri berhubungan dengan Oklusi, Perdarahan intra cerebral. Perfusi jaringan otak dapat tercapai secara optimal
Kriteria hasil :
- Klien tidak gelisah
- Tidak ada keluhan nyeri kepala, mual, kejang.
- GCS 456
- Pupil isokor, reflek cahaya (+)
- Tanda-tanda vital normal (nadi : 60-100 kali permenit, suhu: 36-36,7 C, pernafasan 16-20 kali permenit)
1. Kaji fungsi-fungsi yang lebih tinggi, seperti fungsi bicara jika klien sadar
2. Catat perubahan dalam penglihatan, seperti adanya kebutaan, kebutuhan lapang
3. Tentukan factor penyebab gangguan
4. Anjurkan kepada klien untuk bed rest totat
5. Anjurkan klien untuk menghindari batuk dan mengejan berlebihan
6. Monitor status neurology
7. Berikan penjelasan kepada keluarga klien tentang sebab-sebab peningkatan TIK dan akibatnya
8. Posisi kepala ditinggikan sedikit dengan posisi netral (hanya tempat tidurnya saja yang ditinggikan ).
9. Ciptakan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung
10. Kolaborasi : Oksigen sesuai indikasi, Obat anti fibrolisis, Obat antihipertensi.
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit: kurang dari yang dibutuhkan b.d intake
yang tidak adequat
1. Monitor/obs tanda-tanda vital, nadi perifer, status membran mukosa, turgor kulit
2. Kaji dan monitor kelemahan neuromuskuler (ketidakmampuan menelan)
3. dentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan pengeluran cairan (mis; panas, muntah)
4. Monitor/obs jumlah dan tipe cairan yang masuk dan ukur keluaran cairan dengan akurat
5. Monitor dan ukur keseimbangan cairan
6. Identifikasi rencana untuk meningkatkan/mempertahanakan keseimbangan cairan secara optimal (mis; jadwal masukan cairan)
7. Kolaborasi:
- Kaji hasil tes fungsi elektrolit dan ginjal
- Berikan obat-obatan sesuai intruksi (kalium)
- Pemberian cairan melalui IV
Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan hemiparese/hemiplegia
Klien mampu melaksanakan aktivitas fisik sesuai dengan kemampuannya
Kriteria hasil
- Tidak terjadi kontraktur sendi
- Bertambahnya kekuatan otot
- Klien menunjukkan tindakan untuk meningkatkan mobilitas 1. Ubah posisi klien tiap 2 jam
2. Ajarkan klien untuk melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas yang tidak sakit
3. Lakukan gerak pasif pada ekstremitas yang sakit
4. Berikan papan kaki pada ekstremitas dalam posisi fungsionalnya
5. Tinggikan kepala dan tangan
6. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi untuk latihan fisik klien.
Gangguan persepsi sensori berhubungan dengan penurunan sensori penurunan penglihatan
Meningkatnya persepsi sensorik secara optimal.
Kriteria hasil :
- Adanya perubahan kemampuan yang nyata
- Tidak terjadi disorientasi waktu, tempat, orang
1. Tentukan kondisi patologis klien
2. Kaji gangguan penglihatan terhadap perubahan persepsi
3. Latih klien untuk melihat suatu obyek dengan telaten dan seksama
4. Observasi respon perilaku klien, seperti menangis, bahagia, bermusuhan, halusinasi setiap saat.
5. Berbicaralah dengan klien secara tenang dan gunakan kalimat-kalimat pendek.
Resiko tidak efektifnya bersihan jalan nafas b.d akumulasi skret sekunder
ketidakmampuan mengeluarkan skret karena kelemahan Jalan nafas tetap efektif.
Kriteria hasil :
- Klien tidak sesak nafas
- Tidak terdapat ronchi, wheezing ataupun suara nafas tambahan
- Tidak retraksi otot bantu pernafasan
- Pernafasan teratur, RR 16-20 x per menit
1. Kaji dan monitor status pernafasan, kemampuan batuk dan mengeluarkan skret
2. Auskultasi bunyi nafas
3. Pertahankan kepatenan jalan nafas (posisi kepala dan leher netral anatomis, cegah fleksi leher)
4. Alih baring tiap 2 jam
5. Bila tidak ada kontraindikasi lakukan chest fisioterapi.
6. Bila perlu lakukan suction tergantung kemampuan pasien
7. Tingkatkan hidrasi (2000 ml/hari) bila tidak ada kontra indikasi.
8. Kolaborasi
Pemberian O2 – non rebreting
Cek AGD
Gangguan komunikasi verbal yang berhubungan dengan penurunan sirkulasi darah otak
Proses komunikasi klien dapat berfungsi secara optimal
Kriteria hasil
- Terciptanya suatu komunikasi dimana kebutuhan klien dapat dipenuhi
- Klien mampu merespon setiap berkomunikasi secara verbal maupun isyarat
1. Berikan metode alternatif komunikasi, misal dengan bahasa isyarat.
2. Antisipasi setiap kebutuhan klien saat berkomunikasi.
3. Bicaralah dengan klien secara pelan dan gunakan pertanyaan yang jawabannya “ya” atau “tidak”.
4. Anjurkan kepada keluarga untuk tetap berkomunikasi dengan klien.
5. Hargai kemampuan klien dalam berkomunikasi.
6. Kolaborasi dengan fisioterapis untuk latihan wicara.
Kurangnya perawatan diri berhubungan dengan hemiparese/hemiplegi
Kebutuhan perawatan diri klien terpenuhi
Kriteria hasil
- Klien dapat melakukan aktivitas perawatan diri sesuaidengan kemampuan pasien.
- Klien dapat mengidentifikasi sumber pribadi/komunitas untuk memberikan bantuan sesuai kebutuhan
1. Tentukan kemampuan dan tingkat kekurangan dalam melakukan perawatan diri.
2. Beri motivasi kepada klien untuk tetap melakukan aktivitas dan beri bantuan dengan sikap sungguh.
3. Hindari melakukan sesuatu untuk klien yang dapat dilakukan klien sendiri, tetapi berikan bantuan sesuai kebutuhan.
4. Berikan umpan balik yang positif untuk setiap usaha yang dilakukannya atau keberhasilannya.
5. Kolaborasi dengan ahli fisioterapi/okupasi.
Gangguan eliminasi uri (incontinensia uri) yang berhubungan dengan kehilangan tonus kandung kemih, kehilangan kontrol sfingter, hilangnya isarat berkemih.
Klien mampu mengontrol eliminasi urinya
Kriteria hasil
- Klien akan melaporkan penurunan atau hilangnya
inkontinensia
- Tidak ada distensi bladder
1. Identifikasi pola berkemih dan kembangkan jadwal berkemih sering.
2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam
3. Ajarkan teknik untuk mencetuskan refleks berkemih (rangsangan kutaneus dengan penepukan suprapubik, manuver regangan anal).
4. Bila masih terjadi inkontinensia, kurangi waktu antara berkemih pada jadwal yang telah direncanakan
5. Berikan penjelasan tentang pentingnya hidrasi optimal (sedikitnya 2000 cc per hari bila tidak ada kontraindikasi).
Resiko gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kelemahan otot mengunyah dan menelan
Tidak terjadi gangguan nutrisi
Kriteria hasil
- Berat badan dapat dipertahankan/ditingkatkan
- Hb dan albumin dalam batas normal
1. Tentukan kemampuan klien dalam mengunyah, menelan dan reflek batuk.
2. Letakkan posisi kepala lebih tinggi pada waktu, selama dan sesudah makan.
3. Stimulasi bibir untuk menutup dan membuka mulut secara manual dengan menekan ringan diatas bibir/dibawah dagu jika dibutuhkan.
4. Letakkan makanan pada daerah mulut yang tidak terganggu.
5. Berikan makan dengan berlahan pada lingkungan yang tenang.
6. Mulailah untuk memberikan makan peroral setengah cair, makan lunak ketika klien dapat menelan air.
7. Anjurkan klien menggunakan sedotan meminum cairan.
8. Anjurkan klien untuk berpartisipasi dalam program latihan/kegiatan.
9. Kolaborasi dengan tim dokter untuk memberikan cairan melalui IV atau makanan melalui selang.
Gangguan eliminasi alvi (konstipasi) berhubungan dengan imobilisasi, intake cairan yang tidak adekuat
Klien tidak mengalami konstipasi
Kriteria hasil
- Klien dapat defekasi secara spontan dan lancar tanpa menggunakan obat
- Konsistensi faeces lunak
- Tidak teraba masa pada kolon ( scibala )
- Bising usus normal ( 15-30 kali permenit )
1. Berikan penjelasan pada klien dan keluarga tentang penyebab konstipasi.
2. Auskultasi bising usus.
3. Anjurkan pada klien untuk makan makananan yang mengandung serat.
4. Berikan intake cairan yang cukup (2 liter perhari) jika tidak ada kontraindikasi.
5. Lakukan mobilisasi sesuai dengan keadaan klien.
6. Kolaborasi dengan tim dokter dalam pemberian pelunak faeces (laxatif, suppositoria, enema).
Resiko gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
Klien mampu mempertahankan keutuhan kulit
Kriteria hasil
- Klien mau berpartisipasi terhadap pencegahan luka
- Klien mengetahui penyebab dan cara pencegahan luka
- Tidak ada tanda-tanda kemerahan atau luka
1. Anjurkan untuk melakukan latihan ROM (range of motion) dan mobilisasi jika mungkin.
2. Rubah posisi tiap 2 jam.
3. Gunakan bantal air atau pengganjal yang lunak di bawah daerah-daerah yang menonjol.
4. Lakukan massage pada daerah yang menonjol yang baru mengalami tekanan pada waktu berubah posisi.
5. Observasi terhadap eritema dan kepucatan dan palpasi area sekitar terhadap kehangatan dan pelunakan jaringan tiap merubah posisi.
6. Jaga kebersihan kulit dan seminimal mungkin hindari trauma, panas terhadap kulit.



REFERENSI

1. Alexander Fawcett, Runciman. (2000). Nursing Practice Hospital and Home the Adult, Second edition, Toronto. Churchill Livingstone
2. Arjatmo Tjokronegoro & Henra utama. (2002). Update In Neuroemergencies. Balai Penerbit FKUI: Jakarta.
3. Bullock, Barbara (2000). Focus on pathophysiology. Philadelphia.
4. Black, JM., Matassin E. (2002). Medical Surgical Nursing, Clinical Management for Continuity of Care. JB. Lipincott.co
5. Brunner & Suddarth’s . (1999). Textbook of Medical – surgical nursing. Eighth Edition. Philadelphia. New York: Lippincortt.
6. Chris Winkelman. Neurological Critical Care. American journal Of Critical care. Nopember 2000-volume 9 Number 6.
7. Computed Tomography,diambil dari http:/en wiki/wikipedia/computed tomography.htm diambil tanggal 10 Februari 2006
8. Colmer, MR. (1995). Coronarys surgery for nurses. 16th ed. Livingstone.
9. Doenges, Marylinn E. (2002). Nursing care plan: guidelines for Planning and documenting patient care. 3rd ed. FA. Davis
10. Hudak & Gallo. (1997). Keperawatan Kritis ; Pendekatan kritis, Edisi VI – Volume II. Jakarta: EGC
11. Jean A. Proehl, RN, MN, CEN, CCRN.1999. Emergency Nursing Prosedur. W.B Saunders Company: Philadelphia.
12. Joseph V, et.al.(2004). Intracranial pressure/ head elevation. Diambil 17 Februari 2006. http ://pedscm.wustl.edu/all_net/English/Neuropage/Protect/icp-Tx-3.htm
13. Luckman Sorensen,(1995).Medical Surgical Nursing, A PhsycoPhysiologic Approach, 4th Ed,WB Saunders Company, Phyladelpia
14. MRI,. (2004).Diambil dari http :/en.wiki/wikipedia/MRI.httml diambil tanggal 10 Februari 2006
15. Morton, P.G. (2005). Critical care nursing : a holistic approach. 8thedition. Lippincott William & Wilkins. Philadelphia.
16. Pahria, Tuti SKp dkk (1994). Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: EGC
17. Procolla LeMode, Kaven M. Burke (1996). Medical surgical nursing. Addison Wesley. New York.
18. Thompson, et all. (1997). Clinical Nursing, Fourth edition. Mosby. California.
19. UNC Hospital. Intracranial Pressure Monitoring.(2005).Diambil 17 Februari 2006. www. intracranial pressure monitoring.
20. Vincent Thamburaj. Intracranial Pressure.(2005).Diambil 17 Februari 2006. http://www.Rhamburaj.com/assited_ventilation-in-neurosurgery.htm.
21. www.alsius.com . (2001) Europe sees a cooler future for brain-injuri patients & Research support new German approach to controlling fever
22. www.neurologyreviews.com .(2001) .Brain Cooling – A Hot Topic in Stroke.

Read More..

GIGITAN ULAR

GIGITAN ULAR
A. Pengertian
Bisa ular dapat mengakibatkan orang meninggal oleh karena bias ular yang bersifat hematotoksik, neurotoksik atau histaminic (Agus, dkk. 200)

B. Etiologi
Elapidae (ular sendok (kobra), ular belang, ular cabai, dll.), Hydrophiidae (ular-ular laut), dan Viperidae (ular tanah, ular bangkai laut, ular bandotan).

C. Patofisiologi
Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Bisa ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat di rahang atas. Gigi taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake (ular derik) yang besar. Dosis bisa setiap gigitan tergantung pada waktu yang berlalu sejak gigitan terakhir, derajat ancaman yang dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang hidung ular merespon panas yang dikeluarkan mangsa, yang memungkinkan ular untuk mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan.
Ular koral memiliki mulut yang lebih kecil dan gigi taring yang lebih pendek. Hal ini menyebabkan mereka memiliki lebih sedikit kesempatan untuk menyuntikan bisa dibanding dengan jenis crotalid, dan mereka menggigit lebih dekat dan lebih mirip mengunyah daripada menyerang seperti dikenal pada ular jenis viper.
Semua metode injeksi venom ke dalam korban (envenomasi) adalah untuk mengimobilisasi secara cepat dan mulai mencernanya. Sebagian besar bisa terdiri dari air. Protein enzimatik pada bisa menginformasikan kekuatan destruktifnya. Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis, atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Protease, kolagenase, dan arginin ester hydrolase telah diidentifikasi pada bisa ular viper. Neurotoxin merupakan mayoritas bisa pada ular koral. Detail spesifik diketahui beberapa enzim seperti berikut ini:
1. Hyaluronidase memungkinkan bisa dapat cepat menyebar melalui jaringan subkutan dengan merusak mukopolisakarida;
2. Phospholipase A2 memainkan peranan penting pada hemolisis sekunder dari efek esterolitik pada membran eritrosit dan menyebabkan nekrosis otot; dan
3. Enzim trombogenik menyebabkan terbentuknya bekuan fibrin yang lemah, dimana, pada waktunya mengaktivasi plasmin dan menyebabkan koagulopati konsumtif dan konsekuensi hemoragiknya.
Konsentrasi enzim bervariasi di antara spesies, karena itu menyebabkan perbedaan envenomasi. Gigitan copperhead secara umum terbatas pada destruksi jaringan lokal. Rattlesnake dapat menyisakan luka yang hebat dan menyebabkan toksisitas sistemik. Ular koral mungkin meninggalkan luka kecil yang kemudian dapat muncul kegagalan bernafas dengan tipe blokade neuromuscular sistemik. Efek lokal dari bisa berfungsi sebagai pengingat akan potensi kerusakan sistemik dari fungsi system organ. Salah satu efek adalah perdarahan; koagulopati bukanlah hal yang aneh pada envenomasi yang hebat. Efek lain, edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstisial di paru. Mekanisme pulmonal dapat terpengaruh secara signifikan. Efek terakhir, kematian sel lokal, meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan ventilasi per menit. Efek-efek blokade neuromuskuler berakibat pada lemahnya ekskursi diafragmatik. Gagal jantung merupakan akibat dari hipotensi dan asidosis. Myonekrosis meningkatkan kejadian kerusakan adrenal myoglobinuria.
Variasi derajat toksisitas juga membuat bisa ular dapat berguna untuk membunuh mangsa. Selama envenomasi (gigitan yang menginjeksikan bisa atau racun), bisa ular melewati kelenjar bisa melalui sebuah duktus menuju taring ular, dan akhirnya menuju mangsanya. Bisa ular merupakan kombinasi berbagai substansi dengan efek yang bervariasi. Dalam istilah sederhana, protein-protein ini dapat dibagi menjadi bebrapa kategori :
1. Neurotoksin : berakibat pada syaraf perifer atau sentral. Berakibat fatal, karena paralyse otot-otot lurik/fals
2. Haemotoksin : berakibat haemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzyme lainnya atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena toksin.
3. Mytoksin : berakibat rgabdomyolysis yang sering berhubungan dengan haemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel.
4. Karditoksin : merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan jantung
5. Cytotoksin : dengan melepaskan histamine dan zat vasoaktifamin lain yang berakibat terganggunya kardiovaskuler.
6. Cytolitik : zat ini yang menyebabkan peradangan dan nekrose jaringan pada tempat patukan
7. Enzym-enzym : termasuk Hyaluronidase sebagai zat aktif pada penebaran bias.
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri yang hebat yang tidak sebanding dengan besar luka, udem, eritema, petekie, ekimosis, bula, dan tenda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau pericardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal di Indonesia adalah ular kobra dan ular welang yang bisanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul akibat bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak nafas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan.

D. Manifestasi klinik
Digigit oleh ular berbisa menghasilkan efek yang bervariasi, dari luka gigitan yang sederhana sampai sakit yang mengancam nyawa dan kematian. Hasil temuan pada korban gigitan ular dapat menyesatkan. Seorang korban dapat tidak menunjukkan gejala inisial, dan kemudian tiba-tiba menjadi sesak nafas dan menjadi syok.
Gejala dan tanda gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori mayor :
1. Efek lokal : digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.
2. Perdarahan : Gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat menyebabkan perdarahan organ internal seperti otak atau organ-organ abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.
3. Efek sistem saraf : bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.
4. Kematian otot : bisa dari Russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
5. Mata : semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata.
Penderajatan envenomasi membedakan kebutuhan akan antivenin pada korban gigitan ular-ular viper. Derajat dibagi dalam ringan, sedang, atau berat.
1. Envenomasi ringan ditandai dengan rasa sakit lokal, edema, tidak ada tanda-tanda toksisitas sistemik, dan hasil laboratorium yang normal.
2. Envenomasi sedang ditandai dengan rasa sakit lokal yang hebat; edema lebih dari 12 inci di sekitar luka; dan toksisitas sistemik termasuk nausea, vomitus dan penyimpangan pada hasil laboratorium (misalnya penurunan jumlah hematokrit atau trombosit).
3. Envenomasi berat ditandai dengan ptekie, ekimosis, sputum bercampur darah, hipotensi, hipoperfusi, disfungsi renal, perubahan pada protrombin time dan tromboplastin time parsial teraktivasi, dan hasil-hasil abnormal dari tes-tes lain yang menunjukkan koagulopati konsumtif.
Penderajatan envenomasi merupakan proses yang dinamis. Dalam beberapa jam sindrom ringan awal dapat berkembang menjadi sedang bahkan reaksi yang berat.

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung derajat keparahan envenomasi; dibagi menjadi perawatan di lapangan dan manajemen di rumah sakit.
1. Perawatan di Lapangan
seperti kasus-kasus emergensi lainnya, tujuan utama adalah untuk mempertahankan pasien sampai mereka tiba di instalasi gawat darurat. Sering penatalaksanaan dengan autentisitas yang kurang lebih memperburuk daripada memperbaiki keadaan, termasuk membuat insisi pada luka gigitan, menghisap dengan mulut, pemasangan turniket, kompres dengan es, atau kejutan listrik. Perawatan di lapangan yang tepat harus sesuai dengan prinsip dasar emergency life support. Tenangkan pasien untuk menghindari hysteria selama implementasi ABC (Airway, Breathing, Circulation).
Pertolongan Pertama :
a. Cegah gigitan sekunder atau adanya korban kedua. Ular dapat terus mengigit dan menginjeksikan bisa melalui gigitan berturut-turut sampai bisa mereka habis.
b. Buat korban tetap tenang, yakinkan mereka bahwa gigitan ular dapat ditangani secara efektif di instalasi gawat darurat.
c. Batasi aktivitas dan imobilisasi area yang terkena (umumnya satu ekstrimitas), dan tetap posisikan daerah yang tergigit berada di bawah tinggi jantung untuk mengurangi aliran bisa.
d. Jika terdapat alat penghisap, (seperti Sawyer Extractor), ikuti petunjuk penggunaan. Alat penghisap tekanan-negatif dapat memberi beberapa keuntungan jika digunakan dalam beberapa menit setelah envenomasi. Alat ini telah direkomendasikan oleh banyak ahli di masa lalu, namun alat ini semakin tidak dipercaya untuk dapat menghisap bisa secara signifikan, dan mungkin alat penghisap dapat meningkatkan kerusakan jaringan lokal.
e. Buka semua cincin atau benda lain yang menjepit/ketat yang dapat menghambat aliran darah jika daerah gigitan membengkak. Buat bidai longgar untuk mengurangi pergerakan dari area yang tergigit.
f. Monitor tanda-tanda vital korban; temperatur, denyut nadi, frekuensi nafas, dan tekanan darah (jika mungkin). Tetap perhatikan jalan nafas setiap waktu jika sewaktu-waktu menjadi membutuhkan intubasi.
g. Jika daerah yang tergigit mulai membengkak dan berubah warna, ular yang mengigit kemungkinan berbisa.
h. Segera dapatkan pertolongan medis. Transportasikan korban secara cepat dan aman ke fasilitas medis darurat kecuali ular telah pasti diidentifikasi tidak berbahaya (tidak berbisa).
i. Identifikasi atau upayakan mendeskripsikan jenis ular, tapi lakukan jika tanpa resiko yang signifikan terhadap adanya gigitan sekunder atau jatuhnya korban lain. Jika aman, bawa serta ular yang sudah mati. Hati-hati pada kepalanya saat membawa ular-ular masih dapat mengigit hingga satu jam setelah mati (dari reflek).
j. Jika berada di wilayah yang terpencil dimana transportasi ke instalasi gawat darurat akan lama, pasang bidai pada ekstremitas yang tergigit. Jika memasang bidai, ingat untuk memastikan luka tidak cukup bengkak sehingga menyebabkan bidai menghambat aliran darah. Periksa untuk memastikan jari atau ujung jari tetap pink dan hangat, yang berarti ekstrimitas tidak menjadi kesemutan, dan tidak memperburuk rasa sakit.
k. Jika dipastikan digigit oleh elapid yang berbahaya dan tidak terdapat efek mayor dari luka lokal, dapat dipasang pembalut dengan teknik imobilisasi dengan tekanan. Teknik ini terutama digunakan untuk gigitan oleh elapid Australia atau ular laut. Balutkan perban pada luka gigitan dan terus sampai ke bagian atas ekstremitas dengan tekanan seperti akan membalut pergelangan kaki yang terpeleset. Kemudian imobilisasi ekstremitas dengan bidai, dengan tetap memperhatikan mencegah terhambatnya aliran darah. Teknik ini membantu mencegah efek sistemik yang mengancam nyawa dari bisa, tapi juga bisa memperburuk kerusakan lokal pada sisi gigitan jika gejala yang signifikan terdapat di sana.
Sejumlah teknik pertolongan pertama yang lama telah ditinggalkan. Penemuan klinik terbaru mendukung hal-hal berikut:
a. Jangan mencoba menghisap bisa dengan mulut dan memotong sisi gigitan. Memotong sisi yang tergigit dapat merusak organ yang mendasarinya, meningkatkan resiko infeksi, dan tidak membuang racun.
b. Jangan gunakan es atau kompres dingin pada sisi gigitan. Es tidak mendeaktivasi bisa dan dapat menyebabkan radang dingin.
c. Jangan menggunakan kejutan listrik. Kejutan listrik tidak efektif dan dapat menyebabkan luka bakar atau masalah elektrik pada jantung.
d. Jangan gunakan alkohol. Alkohol dapat menghilangkan sakit, tapi juga membuat pembuluh darah lokal berdilatasi, dimana dapat meningkatkan absorpsi bisa.
e. Jangan menggunakan turniket atau verband yang ketat. Hal ini tidak terbukti efektif, dapat meningkatkan kerusakan jaringan, dan dapat menyebabkan keharusan amputasi.
f. Jangan mengangkat sisi gigitan di atas tinggi jantung korban.


2. Manajemen di Rumah Sakit
a. Perawatan definitif meliputi pengecekan kembali ABC dan mengevaluasi pasien atas tanda-tanda syok (seperti takipneu, takikardi, kulit kering dan pucat, perubahan status mental, hipotensi). Rawat dahulu keadaan yang mengancam nyawa.
b. Korban dengan kesulitan bernafas mungkin membutuhkan endotracheal tube dan sebuah mesin ventilator untuk menolong korban bernafas. Korban dengan syok membutuhkan cairan intravena dan mungkin obat-obatan lain untuk mempertahankan aliran darah ke organ-organ vital.
c. Semburan bisa ular sendok, apabila mengenai mata, dapat mengakibatkan iritasi menengah dan menimbulkan rasa pedih yang hebat. Mencucinya bersih-bersih dengan air yang mengalir sesegera mungkin dapat membilas dan menghanyutkan bisa itu, mengurangi iritasi dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut pada mata.
d. Bersihkan luka dan cari pecahan taring ular atau kotoran lain. Hindari kontak luka dengan larutan asam, KMnO4, yodium atau benda panas.
e. Medikasi
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk menetralisir toxin, untuk mengurangi morbiditas, dan untuk mencegah komplikasi.
1) Beri antivenin pada korban gigitan ular koral sebagai standar perawatan jika korban datang dalam 12 jam setelah gigitan, tanpa melihat adanya tanda-tanda lokal atau sistemik. Neurotoksisitas dapat muncul tanpa tanda-tanda sebelumnya dan berkembang menjadi gagal nafas.
a) Anti-bisa (antivenin) (biasanya di Indonesia disebut SABU, serum anti bisa ular) Untuk menetralisir bia ular dilakukan penyuntikan serum antivenin intravena atau intra-arteri yang menperdarahi daerah yang bersangkutan. Sekarang tersedia 2 jenis antivenin. Salah satunya telah diproduksi sejak 1956. Dibuat dari serum kuda setelah kuda diinjeksi dengan bisa ular dalam dosis subletal (Wyeth). Antivenin telah dipurifikasi tapi masih mengandung protein serum lain yang mungkin bisa imunogenik. Versi terakhir, didukung oleh FDA pada tahun 2000 (CroFab, Savage) adalah suatu fragmen immunoglobulin monovalen yang berasal dari domba namun dipurifikasi untuk menghilangkan protein antigenik lain.
b) Antivenin yang lama mungkin masih tersedia, namun secara umum telah direkomendasikan untuk memakai obat yang lebih spesifik dan telah dipurifikasi. Bahkan dengan agen terbaru, harus diperhatikan bahwa saat mungkin antivenin dapat menyelamatkan nyawa, antivenin juga dapat mengarah pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis) dan tipe lambat (serum sickness) dan harus digunakan dalam pengawasan. Untuk mencapai efikasi maksimum, berikan dalam 4 – 6 jam setelah gigitan.
c) Ovine crotalidae polyvalent immune fab-purified (Crofab) dibuat secara spesifik dari bisa ular eastern dan western diamondback, Mojave rattlesnake, dan ular cottonmouth/water moccasin. Tujuan pemberian antivenin adalah untuk mengikat racun dalam bisa dan mencegah efek buruk baik lokal maupun sistemik. CroFab telah digunakan pada gigitan ular copperhead dan ular Crotalid lain dengan efek yang baik dan dipercaya atas kurangnya toksisitas antivenin.
Dosis Dewasa :
Dosis untuk gigitan ular viper tergantung dari derajat envenomasinya :
a. Ringan : tidak perlu
b. Sedang : inisial 6-10 vial IV
c. Berat : dapat membutuhkan >25 vial IV.
Derajat envenomasi bersifat dinamis, dan kebutuhan antivenin dapat meningkat. Banyak penulis yang tidak setuju pemberian antivenin untuk envenomasi ular copperhead kecuali luka benar-benar nyeri ( merupakan tanda awal envenomasi yang signifikan). Dosis untuk gigitan ular koral : dosis inisial 4-6 vial IV, dapat membutuhkan sebanyak 10 vial, gunakan antivenin spesifik untuk ular koral.
Dosis Anak :
a. Envenomasi ular viper : dapat membutuhkan dua kali dosis dewasa
b. Envenomasi ular koral : sama dengan dosis dewasa
2) Antibiotik – sering diberikan saat korban tiba di rumah sakit tapi lebih sering digunakan hanya pada kasus berat. Bagaimanapun, profilaksis dengan antibiotik spektrum luas masih direkomendasikan. Contoh obat yang sering digunakan adalah Ceftriaxone (Rocephin)-generasi-ketiga dari cephalosporin; diberikan dengan dosis dewasa 1-2 g IV per 12 – 24 jam, dan dosis anak 75 mg/kg/d IV per 12 jam. Imunisasi – ular tidak membawa Clostridium tetani pada mulutnya, tapi gigitan ular dapat membawa bakteri lain, terutama spesies gram-negatif. Profilaksis tetanus direkomendasikan jika pasien belum diimunisasi dalam 5 tahun terakhir.
3) Difteri-tetanus toxoid – digunakan untuk menginduksi imunitas aktif melawan tetanus pada pasien tertentu. Agen imunisasi pilihan untuk kebanyakan korban dewasa dan anak > 7 tahun adalah tetanus dan toxoid difteri. Perlu untuk memberi dosis booster untuk memelihara imunitas tetanus seumur hidup. Korban yang hamil harus mendapat hanya toxoid tetanus bukan produk yang mengandung antigen difteri. Pada dewasa dan anak-anak, dapat diberikan pada m. deltoid atau paha midlateral. Pada bayi, pemberian sebaiknya pada paha midlateral. Dosis pemberian untuk dewasa adalah 0.5 mL IM, sedangkan untuk anak 6 mgg – 6 thn : tiga kali 0.5-mL IM dosis DT setidaknya dengan jarak pemberian 4 minggu dan booster 6 – 12 bulan setelah injeksi ketiga.
4) Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma, atau darah, dan pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
5) Bila terjadi kelumpuhan pernafasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator untuk ventilasi. Bila terjadi pembengkakan hebat biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah nampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit. Bila ragu-ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena kadang efek keracunan bisa timbul lambat. Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencegahan infeksi.
f. Tindakan Bedah:
Jarang terjadi, dokter mungkin perlu berkonsultasi dengan ahli bedah jika terdapat bukti-bukti sindrom kompartemen. Jika perawatan dengan elevasi tungkai dan obat-obatan gagal, ahli bedah mungkin perlu melakukan pembedahan pada kulit sampai kompartemen yang terkena, disebut fasciotomy.
Prosedur ini dapat memperbaiki pembengkakan dan penekanan tungkai, berpotensi menyelamatkan lengan atau tungkai. Fasciotomi tidak diindikasikan pada setiap gigitan ular, tapi dilakukan pada pasien dengan bukti objektif adanya peningkatan tekanan kompartemen. Cedera jaringan setelah sindrom kompartemen bersifat reversible tapi dapat dicegah.
3. Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit:
Pengiriman pasien ke rumah sakit sudah menjadi hal rutin untuk setiap kasus envenomasi. Untuk kasus gigitan kering dari ular viper, observasi di instalasi gawat darurat selama 8-10 jam; namun hal ini sering tidak mungkin dilaksanakan.
Pasien dengan envenomasi yang berat membutuhkan perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas. Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Buat evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindrom kompartemen. Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
Fasciotomy diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mm Hg. Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Studi Laboratorium :
a. Penghitungan jumlah sel-sel darah
b. Prothrombin time dan activated partial thromboplastin time.
c. Fibrinogen dan produk-produk pemisahan darah
d. Tipe dan jenis golongan darah
e. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN, kreatinin
f. Urinalisis untuk myoglobinuria
g. Analisa gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
2. Studi Imaging :
a. Radiografi thoraks pada pasien dengan edema pulmoner
b. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
c. Tes lain : Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersial tersedia alat yang steril, sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Stryker pressure monitor). Pengukuran tekanan kompartemen diindikasikan jika terdapat pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit.

G. Komplikasi
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper. Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi ular koral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler.
Kematian umumnya pada korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid.












H. Patway

Semua metode injeksi venom ke dalam korban (envenomasi) adalah untuk mengimobilisasi secara cepat dan mulai mencernanya. Sebagian besar bisa terdiri dari air.


Protein enzimatik pada bisa menginformasikan kekuatan destruktifnya.


Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase.


Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf


Menyebabkan hemolisis, atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.



Konsentrasi enzim bervariasi di antara spesies, karena itu menyebabkan perbedaan envenomasi.


Gigitan copperhead secara umum terbatas pada destruksi jaringan lokal.
Rattlesnake dapat menyisakan luka yang hebat dan menyebabkan toksisitas sistemik.
Ular koral mungkin meninggalkan luka kecil yang kemudian dapat muncul kegagalan bernafas dengan tipe blokade neuromuscular sistemik.
Efek lokal dari bisa berfungsi sebagai pengingat akan potensi kerusakan sistemik dari fungsi system organ.
Salah satu efek adalah perdarahan; koagulopati bukanlah hal yang aneh pada envenomasi yang hebat.
Efek lain, edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstisial di paru.
Mekanisme pulmonal dapat terpengaruh secara signifikan.
Efek terakhir, kematian sel lokal, meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan ventilasi per menit.
Efek-efek blokade neuromuskuler berakibat pada lemahnya ekskursi diafragmatik.
Gagal jantung merupakan akibat dari hipotensi dan asidosis.
Myonekrosis meningkatkan kejadian kerusakan adrenal myoglobinuria.

I. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
2. Diagnose keperawatan


J. Daftar pustaka
Agus P, dkk : Kedaruratan Medik : Edisi Revisi, Binarupa Aksara, Jakarta, 2000

Daley eMedicine – Snakebite : Article by Brian James, MD, MBA, FACS, 2006 available at URL : http://www.emedicine.com/med/topic2143.htm

Hafid, Abdul, dkk., editor : Sjamsuhidajat,R. dan de Jong, Wim, Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta, Mei 1997. Hal. 99-100. 2.

MedlinePlus Medical Encyclopedia: Snake bite, A.D.A.M., Inc. 2006 available at URL : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000031.htm

MedlinePlus Medical Encyclopedia:Snakebite (poison) treatment – series… A.D.A.M., Inc. 2006, available at URL :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/presentations/100141_1.htm
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/presentations/100141_2.htm

MedlinePlus Medical Encyclopedia: Snake bite on the finger, A.D.A.M., Inc. 2006 available at URL :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/2583.htm

Snakes and snake bites, 2005 available at URL :
http://www.netdoctor.co.uk/travel/diseases/snakes_and_snake_bites.htm

Snakebite, 2005 available at URL :
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite..

Ular – Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia available at URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Ular

Read More..
 
 
 
Adsense Indonesia