GIGITAN ULAR

Senin, 11 Januari 2010

GIGITAN ULAR
A. Pengertian
Bisa ular dapat mengakibatkan orang meninggal oleh karena bias ular yang bersifat hematotoksik, neurotoksik atau histaminic (Agus, dkk. 200)

B. Etiologi
Elapidae (ular sendok (kobra), ular belang, ular cabai, dll.), Hydrophiidae (ular-ular laut), dan Viperidae (ular tanah, ular bangkai laut, ular bandotan).

C. Patofisiologi
Bisa ular diproduksi dan disimpan pada sepasang kelenjar di bawah mata. Bisa ular dikeluarkan dari lubang pada gigi-gigi taring yang terdapat di rahang atas. Gigi taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada rattlesnake (ular derik) yang besar. Dosis bisa setiap gigitan tergantung pada waktu yang berlalu sejak gigitan terakhir, derajat ancaman yang dirasakan ular, dan ukuran mangsa. Lubang hidung ular merespon panas yang dikeluarkan mangsa, yang memungkinkan ular untuk mengubah-ubah jumlah bisa yang akan dikeluarkan.
Ular koral memiliki mulut yang lebih kecil dan gigi taring yang lebih pendek. Hal ini menyebabkan mereka memiliki lebih sedikit kesempatan untuk menyuntikan bisa dibanding dengan jenis crotalid, dan mereka menggigit lebih dekat dan lebih mirip mengunyah daripada menyerang seperti dikenal pada ular jenis viper.
Semua metode injeksi venom ke dalam korban (envenomasi) adalah untuk mengimobilisasi secara cepat dan mulai mencernanya. Sebagian besar bisa terdiri dari air. Protein enzimatik pada bisa menginformasikan kekuatan destruktifnya. Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan hemolisis, atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis. Protease, kolagenase, dan arginin ester hydrolase telah diidentifikasi pada bisa ular viper. Neurotoxin merupakan mayoritas bisa pada ular koral. Detail spesifik diketahui beberapa enzim seperti berikut ini:
1. Hyaluronidase memungkinkan bisa dapat cepat menyebar melalui jaringan subkutan dengan merusak mukopolisakarida;
2. Phospholipase A2 memainkan peranan penting pada hemolisis sekunder dari efek esterolitik pada membran eritrosit dan menyebabkan nekrosis otot; dan
3. Enzim trombogenik menyebabkan terbentuknya bekuan fibrin yang lemah, dimana, pada waktunya mengaktivasi plasmin dan menyebabkan koagulopati konsumtif dan konsekuensi hemoragiknya.
Konsentrasi enzim bervariasi di antara spesies, karena itu menyebabkan perbedaan envenomasi. Gigitan copperhead secara umum terbatas pada destruksi jaringan lokal. Rattlesnake dapat menyisakan luka yang hebat dan menyebabkan toksisitas sistemik. Ular koral mungkin meninggalkan luka kecil yang kemudian dapat muncul kegagalan bernafas dengan tipe blokade neuromuscular sistemik. Efek lokal dari bisa berfungsi sebagai pengingat akan potensi kerusakan sistemik dari fungsi system organ. Salah satu efek adalah perdarahan; koagulopati bukanlah hal yang aneh pada envenomasi yang hebat. Efek lain, edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstisial di paru. Mekanisme pulmonal dapat terpengaruh secara signifikan. Efek terakhir, kematian sel lokal, meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan ventilasi per menit. Efek-efek blokade neuromuskuler berakibat pada lemahnya ekskursi diafragmatik. Gagal jantung merupakan akibat dari hipotensi dan asidosis. Myonekrosis meningkatkan kejadian kerusakan adrenal myoglobinuria.
Variasi derajat toksisitas juga membuat bisa ular dapat berguna untuk membunuh mangsa. Selama envenomasi (gigitan yang menginjeksikan bisa atau racun), bisa ular melewati kelenjar bisa melalui sebuah duktus menuju taring ular, dan akhirnya menuju mangsanya. Bisa ular merupakan kombinasi berbagai substansi dengan efek yang bervariasi. Dalam istilah sederhana, protein-protein ini dapat dibagi menjadi bebrapa kategori :
1. Neurotoksin : berakibat pada syaraf perifer atau sentral. Berakibat fatal, karena paralyse otot-otot lurik/fals
2. Haemotoksin : berakibat haemolitik dengan zat antara fosfolipase dan enzyme lainnya atau menyebabkan koagulasi dengan mengaktifkan protrombin. Perdarahan itu sendiri sebagai akibat lisisnya sel darah merah karena toksin.
3. Mytoksin : berakibat rgabdomyolysis yang sering berhubungan dengan haemotoksin. Myoglobulinuria yang menyebabkan kerusakan ginjal dan hiperkalemia akibat kerusakan sel-sel.
4. Karditoksin : merusak serat-serat otot jantung yang menimbulkan kerusakan jantung
5. Cytotoksin : dengan melepaskan histamine dan zat vasoaktifamin lain yang berakibat terganggunya kardiovaskuler.
6. Cytolitik : zat ini yang menyebabkan peradangan dan nekrose jaringan pada tempat patukan
7. Enzym-enzym : termasuk Hyaluronidase sebagai zat aktif pada penebaran bias.
Racun yang merusak jaringan menyebabkan nekrosis jaringan yang luas dan hemolisis. Gejala dan tanda yang menonjol berupa nyeri yang hebat yang tidak sebanding dengan besar luka, udem, eritema, petekie, ekimosis, bula, dan tenda nekrosis jaringan. Dapat terjadi perdarahan di peritoneum atau pericardium, udem paru, dan syok berat karena efek racun langsung pada otot jantung. Ular berbisa yang terkenal di Indonesia adalah ular kobra dan ular welang yang bisanya bersifat neurotoksik. Gejala dan tanda yang timbul akibat bisa jenis ini adalah rasa kesemutan, lemas, mual, salivasi, dan muntah. Pada pemeriksaan ditemukan ptosis, refleks abnormal, dan sesak nafas sampai akhirnya terjadi henti nafas akibat kelumpuhan otot pernafasan.

D. Manifestasi klinik
Digigit oleh ular berbisa menghasilkan efek yang bervariasi, dari luka gigitan yang sederhana sampai sakit yang mengancam nyawa dan kematian. Hasil temuan pada korban gigitan ular dapat menyesatkan. Seorang korban dapat tidak menunjukkan gejala inisial, dan kemudian tiba-tiba menjadi sesak nafas dan menjadi syok.
Gejala dan tanda gigitan ular berbisa dapat dibagi ke dalam beberapa kategori mayor :
1. Efek lokal : digigit oleh beberapa ular viper atau beberapa kobra menimbulkan rasa sakit dan perlunakan di daerah gigitan. Luka dapat membengkak hebat dan dapat berdarah dan melepuh. Beberapa bisa ular kobra juga dapat mematikan jaringan sekitar sisi gigitan luka.
2. Perdarahan : Gigitan oleh famili viperidae atau beberapa elapid Australia dapat menyebabkan perdarahan organ internal seperti otak atau organ-organ abdomen. Korban dapat berdarah dari luka gigitan atau berdarah spontan dari mulut atau luka yang lama. Perdarahan yang tak terkontrol dapat menyebabkan syok atau bahkan kematian.
3. Efek sistem saraf : bisa ular elapid dan ular laut dapat berefek langsung pada sistem saraf. Bisa ular kobra dan mamba dapat beraksi terutama secara cepat menghentikan otot-otot pernafasan, berakibat kematian sebelum mendapat perawatan. Awalnya, korban dapat menderita masalah visual, kesulitan bicara dan bernafas, dan kesemutan.
4. Kematian otot : bisa dari Russell’s viper (Daboia russelli), ular laut, dan beberapa elapid Australia dapat secara langsung menyebabkan kematian otot di beberapa area tubuh. Debris dari sel otot yang mati dapat menyumbat ginjal, yang mencoba menyaring protein. Hal ini dapat menyebabkan gagal ginjal.
5. Mata : semburan bisa ular kobra dan ringhal dapat secara tepat mengenai mata korban, menghasilkan sakit dan kerusakan, bahkan kebutaan sementara pada mata.
Penderajatan envenomasi membedakan kebutuhan akan antivenin pada korban gigitan ular-ular viper. Derajat dibagi dalam ringan, sedang, atau berat.
1. Envenomasi ringan ditandai dengan rasa sakit lokal, edema, tidak ada tanda-tanda toksisitas sistemik, dan hasil laboratorium yang normal.
2. Envenomasi sedang ditandai dengan rasa sakit lokal yang hebat; edema lebih dari 12 inci di sekitar luka; dan toksisitas sistemik termasuk nausea, vomitus dan penyimpangan pada hasil laboratorium (misalnya penurunan jumlah hematokrit atau trombosit).
3. Envenomasi berat ditandai dengan ptekie, ekimosis, sputum bercampur darah, hipotensi, hipoperfusi, disfungsi renal, perubahan pada protrombin time dan tromboplastin time parsial teraktivasi, dan hasil-hasil abnormal dari tes-tes lain yang menunjukkan koagulopati konsumtif.
Penderajatan envenomasi merupakan proses yang dinamis. Dalam beberapa jam sindrom ringan awal dapat berkembang menjadi sedang bahkan reaksi yang berat.

E. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tergantung derajat keparahan envenomasi; dibagi menjadi perawatan di lapangan dan manajemen di rumah sakit.
1. Perawatan di Lapangan
seperti kasus-kasus emergensi lainnya, tujuan utama adalah untuk mempertahankan pasien sampai mereka tiba di instalasi gawat darurat. Sering penatalaksanaan dengan autentisitas yang kurang lebih memperburuk daripada memperbaiki keadaan, termasuk membuat insisi pada luka gigitan, menghisap dengan mulut, pemasangan turniket, kompres dengan es, atau kejutan listrik. Perawatan di lapangan yang tepat harus sesuai dengan prinsip dasar emergency life support. Tenangkan pasien untuk menghindari hysteria selama implementasi ABC (Airway, Breathing, Circulation).
Pertolongan Pertama :
a. Cegah gigitan sekunder atau adanya korban kedua. Ular dapat terus mengigit dan menginjeksikan bisa melalui gigitan berturut-turut sampai bisa mereka habis.
b. Buat korban tetap tenang, yakinkan mereka bahwa gigitan ular dapat ditangani secara efektif di instalasi gawat darurat.
c. Batasi aktivitas dan imobilisasi area yang terkena (umumnya satu ekstrimitas), dan tetap posisikan daerah yang tergigit berada di bawah tinggi jantung untuk mengurangi aliran bisa.
d. Jika terdapat alat penghisap, (seperti Sawyer Extractor), ikuti petunjuk penggunaan. Alat penghisap tekanan-negatif dapat memberi beberapa keuntungan jika digunakan dalam beberapa menit setelah envenomasi. Alat ini telah direkomendasikan oleh banyak ahli di masa lalu, namun alat ini semakin tidak dipercaya untuk dapat menghisap bisa secara signifikan, dan mungkin alat penghisap dapat meningkatkan kerusakan jaringan lokal.
e. Buka semua cincin atau benda lain yang menjepit/ketat yang dapat menghambat aliran darah jika daerah gigitan membengkak. Buat bidai longgar untuk mengurangi pergerakan dari area yang tergigit.
f. Monitor tanda-tanda vital korban; temperatur, denyut nadi, frekuensi nafas, dan tekanan darah (jika mungkin). Tetap perhatikan jalan nafas setiap waktu jika sewaktu-waktu menjadi membutuhkan intubasi.
g. Jika daerah yang tergigit mulai membengkak dan berubah warna, ular yang mengigit kemungkinan berbisa.
h. Segera dapatkan pertolongan medis. Transportasikan korban secara cepat dan aman ke fasilitas medis darurat kecuali ular telah pasti diidentifikasi tidak berbahaya (tidak berbisa).
i. Identifikasi atau upayakan mendeskripsikan jenis ular, tapi lakukan jika tanpa resiko yang signifikan terhadap adanya gigitan sekunder atau jatuhnya korban lain. Jika aman, bawa serta ular yang sudah mati. Hati-hati pada kepalanya saat membawa ular-ular masih dapat mengigit hingga satu jam setelah mati (dari reflek).
j. Jika berada di wilayah yang terpencil dimana transportasi ke instalasi gawat darurat akan lama, pasang bidai pada ekstremitas yang tergigit. Jika memasang bidai, ingat untuk memastikan luka tidak cukup bengkak sehingga menyebabkan bidai menghambat aliran darah. Periksa untuk memastikan jari atau ujung jari tetap pink dan hangat, yang berarti ekstrimitas tidak menjadi kesemutan, dan tidak memperburuk rasa sakit.
k. Jika dipastikan digigit oleh elapid yang berbahaya dan tidak terdapat efek mayor dari luka lokal, dapat dipasang pembalut dengan teknik imobilisasi dengan tekanan. Teknik ini terutama digunakan untuk gigitan oleh elapid Australia atau ular laut. Balutkan perban pada luka gigitan dan terus sampai ke bagian atas ekstremitas dengan tekanan seperti akan membalut pergelangan kaki yang terpeleset. Kemudian imobilisasi ekstremitas dengan bidai, dengan tetap memperhatikan mencegah terhambatnya aliran darah. Teknik ini membantu mencegah efek sistemik yang mengancam nyawa dari bisa, tapi juga bisa memperburuk kerusakan lokal pada sisi gigitan jika gejala yang signifikan terdapat di sana.
Sejumlah teknik pertolongan pertama yang lama telah ditinggalkan. Penemuan klinik terbaru mendukung hal-hal berikut:
a. Jangan mencoba menghisap bisa dengan mulut dan memotong sisi gigitan. Memotong sisi yang tergigit dapat merusak organ yang mendasarinya, meningkatkan resiko infeksi, dan tidak membuang racun.
b. Jangan gunakan es atau kompres dingin pada sisi gigitan. Es tidak mendeaktivasi bisa dan dapat menyebabkan radang dingin.
c. Jangan menggunakan kejutan listrik. Kejutan listrik tidak efektif dan dapat menyebabkan luka bakar atau masalah elektrik pada jantung.
d. Jangan gunakan alkohol. Alkohol dapat menghilangkan sakit, tapi juga membuat pembuluh darah lokal berdilatasi, dimana dapat meningkatkan absorpsi bisa.
e. Jangan menggunakan turniket atau verband yang ketat. Hal ini tidak terbukti efektif, dapat meningkatkan kerusakan jaringan, dan dapat menyebabkan keharusan amputasi.
f. Jangan mengangkat sisi gigitan di atas tinggi jantung korban.


2. Manajemen di Rumah Sakit
a. Perawatan definitif meliputi pengecekan kembali ABC dan mengevaluasi pasien atas tanda-tanda syok (seperti takipneu, takikardi, kulit kering dan pucat, perubahan status mental, hipotensi). Rawat dahulu keadaan yang mengancam nyawa.
b. Korban dengan kesulitan bernafas mungkin membutuhkan endotracheal tube dan sebuah mesin ventilator untuk menolong korban bernafas. Korban dengan syok membutuhkan cairan intravena dan mungkin obat-obatan lain untuk mempertahankan aliran darah ke organ-organ vital.
c. Semburan bisa ular sendok, apabila mengenai mata, dapat mengakibatkan iritasi menengah dan menimbulkan rasa pedih yang hebat. Mencucinya bersih-bersih dengan air yang mengalir sesegera mungkin dapat membilas dan menghanyutkan bisa itu, mengurangi iritasi dan mencegah kerusakan yang lebih lanjut pada mata.
d. Bersihkan luka dan cari pecahan taring ular atau kotoran lain. Hindari kontak luka dengan larutan asam, KMnO4, yodium atau benda panas.
e. Medikasi
Tujuan dari farmakoterapi adalah untuk menetralisir toxin, untuk mengurangi morbiditas, dan untuk mencegah komplikasi.
1) Beri antivenin pada korban gigitan ular koral sebagai standar perawatan jika korban datang dalam 12 jam setelah gigitan, tanpa melihat adanya tanda-tanda lokal atau sistemik. Neurotoksisitas dapat muncul tanpa tanda-tanda sebelumnya dan berkembang menjadi gagal nafas.
a) Anti-bisa (antivenin) (biasanya di Indonesia disebut SABU, serum anti bisa ular) Untuk menetralisir bia ular dilakukan penyuntikan serum antivenin intravena atau intra-arteri yang menperdarahi daerah yang bersangkutan. Sekarang tersedia 2 jenis antivenin. Salah satunya telah diproduksi sejak 1956. Dibuat dari serum kuda setelah kuda diinjeksi dengan bisa ular dalam dosis subletal (Wyeth). Antivenin telah dipurifikasi tapi masih mengandung protein serum lain yang mungkin bisa imunogenik. Versi terakhir, didukung oleh FDA pada tahun 2000 (CroFab, Savage) adalah suatu fragmen immunoglobulin monovalen yang berasal dari domba namun dipurifikasi untuk menghilangkan protein antigenik lain.
b) Antivenin yang lama mungkin masih tersedia, namun secara umum telah direkomendasikan untuk memakai obat yang lebih spesifik dan telah dipurifikasi. Bahkan dengan agen terbaru, harus diperhatikan bahwa saat mungkin antivenin dapat menyelamatkan nyawa, antivenin juga dapat mengarah pada reaksi hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis) dan tipe lambat (serum sickness) dan harus digunakan dalam pengawasan. Untuk mencapai efikasi maksimum, berikan dalam 4 – 6 jam setelah gigitan.
c) Ovine crotalidae polyvalent immune fab-purified (Crofab) dibuat secara spesifik dari bisa ular eastern dan western diamondback, Mojave rattlesnake, dan ular cottonmouth/water moccasin. Tujuan pemberian antivenin adalah untuk mengikat racun dalam bisa dan mencegah efek buruk baik lokal maupun sistemik. CroFab telah digunakan pada gigitan ular copperhead dan ular Crotalid lain dengan efek yang baik dan dipercaya atas kurangnya toksisitas antivenin.
Dosis Dewasa :
Dosis untuk gigitan ular viper tergantung dari derajat envenomasinya :
a. Ringan : tidak perlu
b. Sedang : inisial 6-10 vial IV
c. Berat : dapat membutuhkan >25 vial IV.
Derajat envenomasi bersifat dinamis, dan kebutuhan antivenin dapat meningkat. Banyak penulis yang tidak setuju pemberian antivenin untuk envenomasi ular copperhead kecuali luka benar-benar nyeri ( merupakan tanda awal envenomasi yang signifikan). Dosis untuk gigitan ular koral : dosis inisial 4-6 vial IV, dapat membutuhkan sebanyak 10 vial, gunakan antivenin spesifik untuk ular koral.
Dosis Anak :
a. Envenomasi ular viper : dapat membutuhkan dua kali dosis dewasa
b. Envenomasi ular koral : sama dengan dosis dewasa
2) Antibiotik – sering diberikan saat korban tiba di rumah sakit tapi lebih sering digunakan hanya pada kasus berat. Bagaimanapun, profilaksis dengan antibiotik spektrum luas masih direkomendasikan. Contoh obat yang sering digunakan adalah Ceftriaxone (Rocephin)-generasi-ketiga dari cephalosporin; diberikan dengan dosis dewasa 1-2 g IV per 12 – 24 jam, dan dosis anak 75 mg/kg/d IV per 12 jam. Imunisasi – ular tidak membawa Clostridium tetani pada mulutnya, tapi gigitan ular dapat membawa bakteri lain, terutama spesies gram-negatif. Profilaksis tetanus direkomendasikan jika pasien belum diimunisasi dalam 5 tahun terakhir.
3) Difteri-tetanus toxoid – digunakan untuk menginduksi imunitas aktif melawan tetanus pada pasien tertentu. Agen imunisasi pilihan untuk kebanyakan korban dewasa dan anak > 7 tahun adalah tetanus dan toxoid difteri. Perlu untuk memberi dosis booster untuk memelihara imunitas tetanus seumur hidup. Korban yang hamil harus mendapat hanya toxoid tetanus bukan produk yang mengandung antigen difteri. Pada dewasa dan anak-anak, dapat diberikan pada m. deltoid atau paha midlateral. Pada bayi, pemberian sebaiknya pada paha midlateral. Dosis pemberian untuk dewasa adalah 0.5 mL IM, sedangkan untuk anak 6 mgg – 6 thn : tiga kali 0.5-mL IM dosis DT setidaknya dengan jarak pemberian 4 minggu dan booster 6 – 12 bulan setelah injeksi ketiga.
4) Pengobatan suportif terdiri dari infus NaCl, plasma, atau darah, dan pemberian vasopresor untuk menanggulangi syok. Mungkin perlu diberikan fibrinogen untuk memperbaiki kerusakan sistem pembekuan. Dianjurkan juga pemberian kortikosteroid.
5) Bila terjadi kelumpuhan pernafasan dilakukan intubasi, dilanjutkan dengan memasang respirator untuk ventilasi. Bila terjadi pembengkakan hebat biasanya perlu dilakukan fasiotomi untuk mencegah sindrom kompartemen. Bila perlu, dilakukan upaya untuk mengatasi faal ginjal. Nekrotomi dikerjakan bila telah nampak jelas batas kematian jaringan, kemudian dilanjutkan dengan cangkok kulit. Bila ragu-ragu mengenai jenis ularnya, sebaiknya penderita diamati selama 48 jam karena kadang efek keracunan bisa timbul lambat. Gigitan ular tak berbisa tidak memerlukan pertolongan khusus, kecuali pencegahan infeksi.
f. Tindakan Bedah:
Jarang terjadi, dokter mungkin perlu berkonsultasi dengan ahli bedah jika terdapat bukti-bukti sindrom kompartemen. Jika perawatan dengan elevasi tungkai dan obat-obatan gagal, ahli bedah mungkin perlu melakukan pembedahan pada kulit sampai kompartemen yang terkena, disebut fasciotomy.
Prosedur ini dapat memperbaiki pembengkakan dan penekanan tungkai, berpotensi menyelamatkan lengan atau tungkai. Fasciotomi tidak diindikasikan pada setiap gigitan ular, tapi dilakukan pada pasien dengan bukti objektif adanya peningkatan tekanan kompartemen. Cedera jaringan setelah sindrom kompartemen bersifat reversible tapi dapat dicegah.
3. Perawatan pasien lebih lanjut di rumah sakit:
Pengiriman pasien ke rumah sakit sudah menjadi hal rutin untuk setiap kasus envenomasi. Untuk kasus gigitan kering dari ular viper, observasi di instalasi gawat darurat selama 8-10 jam; namun hal ini sering tidak mungkin dilaksanakan.
Pasien dengan envenomasi yang berat membutuhkan perawatan khusus di ICU untuk pemberian produk-produk darah, menyediakan monitoring yang invasif, dan memastikan proteksi jalan nafas. Observasi untuk gigitan ular koral minimal selama 24 jam.
Buat evaluasi serial untuk penderajatan lebih lanjut dan untuk menyingkirkan sindrom kompartemen. Tergantung pada skenario klinik, ukur tekanan kompartemen setiap 30-120 menit.
Fasciotomy diindikasikan untuk tekanan yang lebih dari 30-40 mm Hg. Tergantung dari derajat keparahan gigitan, pemeriksaan darah lebih lanjut mungkin dibutuhkan, seperti waktu pembekuan darah, jumlah trombosit, dan level fibrinogen.

F. Pemeriksaan penunjang
1. Studi Laboratorium :
a. Penghitungan jumlah sel-sel darah
b. Prothrombin time dan activated partial thromboplastin time.
c. Fibrinogen dan produk-produk pemisahan darah
d. Tipe dan jenis golongan darah
e. Kimia darah, termasuk elektrolit, BUN, kreatinin
f. Urinalisis untuk myoglobinuria
g. Analisa gas darah untuk pasien dengan gejala sistemik
2. Studi Imaging :
a. Radiografi thoraks pada pasien dengan edema pulmoner
b. Radiografi untuk mencari taring ular yang tertinggal
c. Tes lain : Tekanan kompartemen dapat perlu diukur. Secara komersial tersedia alat yang steril, sederhana untuk dipasang atau dibaca, dan dapat dipercaya (seperti Stryker pressure monitor). Pengukuran tekanan kompartemen diindikasikan jika terdapat pembengkakan yang signifikan, nyeri yang sangat hebat yang menghalangi pemeriksaan, dan jika parestesi muncul pada ekstremitas yang tergigit.

G. Komplikasi
Sindrom kompartemen adalah komplikasi tersering dari gigitan ular pit viper. Komplikasi luka lokal dapat meliputi infeksi dan hilangnya kulit. Komplikasi kardiovaskuler, komplikasi hematologis, dan kolaps paru dapat terjadi. Jarang terjadi kematian. Anak-anak mempunyai resiko lebih tinggi untuk terjadinya kematian atau komplikasi serius karena ukuran tubuh mereka yang lebih kecil. Perpanjangan blokade neuromuskuler timbul dari envenomasi ular koral.
Komplikasi yang terkait dengan antivenin termasuk reaksi hipersensitivitas tipe cepat (anafilaksis, tipe I) dan tipe lambat (serum sickness, tipe III). Anafilaksis terjadi dimediasi oleh immunoglobulin E (IgE), berkaitan dengan degranulasi sel mast yang dapat berakibat laryngospasme, vasodilatasi, dan kebocoran kapiler.
Kematian umumnya pada korban tanpa intervensi farmakologis. Serum sickness dengan gejala demam, sakit kepala, bersin, pembengkakan kelenjar lymph, dan penurunan daya tahan, muncul 1 – 2 minggu setelah pemberian antivenin. Presipitasi dari kompleks antigen-immunoglobulin G (IgG) pada kulit, sendi, dan ginjal bertanggung jawab atas timbulnya arthralgia, urtikaria, dan glomerulonephritis (jarang). Biasanya lebih dari 8 vial antivenin harus diberikan pada sindrom ini. Terapi suportif terdiri dari antihistamin dan steroid.












H. Patway

Semua metode injeksi venom ke dalam korban (envenomasi) adalah untuk mengimobilisasi secara cepat dan mulai mencernanya. Sebagian besar bisa terdiri dari air.


Protein enzimatik pada bisa menginformasikan kekuatan destruktifnya.


Bisa ular terdiri dari bermacam polipeptida yaitu fosfolipase A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease, fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase.


Enzim ini menyebabkan destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf


Menyebabkan hemolisis, atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.



Konsentrasi enzim bervariasi di antara spesies, karena itu menyebabkan perbedaan envenomasi.


Gigitan copperhead secara umum terbatas pada destruksi jaringan lokal.
Rattlesnake dapat menyisakan luka yang hebat dan menyebabkan toksisitas sistemik.
Ular koral mungkin meninggalkan luka kecil yang kemudian dapat muncul kegagalan bernafas dengan tipe blokade neuromuscular sistemik.
Efek lokal dari bisa berfungsi sebagai pengingat akan potensi kerusakan sistemik dari fungsi system organ.
Salah satu efek adalah perdarahan; koagulopati bukanlah hal yang aneh pada envenomasi yang hebat.
Efek lain, edema lokal, meningkatkan kebocoran kapiler dan cairan interstisial di paru.
Mekanisme pulmonal dapat terpengaruh secara signifikan.
Efek terakhir, kematian sel lokal, meningkatkan konsentrasi asam laktat sekunder terhadap perubahan status volume dan membutuhkan peningkatan ventilasi per menit.
Efek-efek blokade neuromuskuler berakibat pada lemahnya ekskursi diafragmatik.
Gagal jantung merupakan akibat dari hipotensi dan asidosis.
Myonekrosis meningkatkan kejadian kerusakan adrenal myoglobinuria.

I. Asuhan keperawatan
1. Pengkajian
2. Diagnose keperawatan


J. Daftar pustaka
Agus P, dkk : Kedaruratan Medik : Edisi Revisi, Binarupa Aksara, Jakarta, 2000

Daley eMedicine – Snakebite : Article by Brian James, MD, MBA, FACS, 2006 available at URL : http://www.emedicine.com/med/topic2143.htm

Hafid, Abdul, dkk., editor : Sjamsuhidajat,R. dan de Jong, Wim, Bab 2 : Luka, Trauma, Syok, Bencana., Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi Revisi, EGC : Jakarta, Mei 1997. Hal. 99-100. 2.

MedlinePlus Medical Encyclopedia: Snake bite, A.D.A.M., Inc. 2006 available at URL : http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000031.htm

MedlinePlus Medical Encyclopedia:Snakebite (poison) treatment – series… A.D.A.M., Inc. 2006, available at URL :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/presentations/100141_1.htm
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/presentations/100141_2.htm

MedlinePlus Medical Encyclopedia: Snake bite on the finger, A.D.A.M., Inc. 2006 available at URL :
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/imagepages/2583.htm

Snakes and snake bites, 2005 available at URL :
http://www.netdoctor.co.uk/travel/diseases/snakes_and_snake_bites.htm

Snakebite, 2005 available at URL :
http://www.emedicinehealth.com/snakebite/article_em.htm#Snakebite..

Ular – Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia available at URL : http://id.wikipedia.org/wiki/Ular

2 komentar:

Zaenal Arifin, NS.SKep mengatakan...

silahkan berkunjung di blog jaer.... http://jager-blog.blogspot.com

ners_purbalingga mengatakan...

gigitan pacar ada gak?

Posting Komentar

 
 
 
Adsense Indonesia